BAB I
PENDAHULUAN
Peradilan adalah lembaga yang dilindungi
Undang-undang yang keberadaannya bebas tidak memihak dan tidak boleh di
pengaruhi oleh pihak manapun juga termasuk kekuasaan. Independensi peradilan
merupakan idam-idaman dari masyarakat secara keseluruhan.
Di masa sekarang ini hukum sedang
berkembang, dan terus menerus dibangun, sementara pembangunan hukum tidak bisa
meninggalkan rasa hukum masyarakatnya, tentu saja hukum Islam menjadi begitu
penting peranannya dalam pembinaan Hukum Nasional Indonesia, mengingat
mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.
Indonesia yang termasuk negara yang
sedang berkembang, mengawali kehidupannya dengan hasrat yang kuat untuk
melaksanakan pembangunan. Yang pada dasarnya, pembangunan adalah kehendak untuk
melakukan perubahan terhadap situasi kehidupan yang lebih baik, membina agar
lebih maju dan memperbaiki agar lebih teratur.
Upaya
pembangunan Hukum Islam akan melibatkan tiga komponen yang mesti diperhitungkan
dengan matang dan cermat, biasa dikenal dengan istilah “Tri Darma Hukum”,
yaitu: (1) komponen perangkat hukum, (2) komponen penegak hukum, dan (3)
komponen kesadaran hukum.
Hakim merupakan salah satu komponen penegak
hukum yang menjadi piranti dalam menyelasaikan hukum yang sedang berlangsung,sehingga
keberadaannya menjadi sangat penting dalam penegakan hukum itu.
Peranan hakim menjadi kunci
dari citra yang diemban dari lembaga peradilan,bila hakim-hakim yang ada
merupakan representasi dari orang yang memiliki akhlak yang baik maka citra
peradilan akan menjadi baik pula,akan tetapi bila terdapat hakim yang kurang
mencerminkan akhal yang baik,maka citra peradilan pun akan tercoreng dengan
olah dari oknum hakim tersebut.
Hakim termasuk persoalan
yang sangat penting dalam dunia hukum, sebab berkaitan dengan pembuat hukum
dalam syariat Islam, atau pembuat hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi
pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu Ushul
Fiqh, hakim juga disebut dengan Syar’i.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
1.
PENGERTIAN HAKIM
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang
memutuskan hukum”. Dalam istilah fikih kata hakim juga sebagai orang yang
memutuskan hukum di pengadilan yang sama hal ini dengan Qadhi.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber
atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hal ini didasarkan
pada al-Qur’an surat al-An’am ayat 57:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا
لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِين
Artinya :
“...menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia yang menerangkan sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am/ 6:57)
Meskipun para ulama ushul sepakat bahwa yang membuat
hukum adalah Allah SWT, tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah
hukum-hukum yang dibuat Allah SWT hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu
dan datangnya Rasulullah saw atau akal secara independen bisa juga
mengetahuinya.
Adapun sebelum datangnya wahyu, ulama berselisih
peranan akal dalam menentukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang
berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi. Dalam
Islam tidak ada syariat kecuali dari Allah SWT. baik yang berkaitan dengan
hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah), maupun yang
berkaitan dengan hukum wadhi (sebab, syarta, halangan, sah, batal,
fasid, azimah dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama’ hukum diatas itu
semuanya bersumber dari Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad saw maupun hasil
ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori Istinbath, seperti qisas, ijma’
dan metode istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT.
dalam hal ini para ulama’ fiqh menetapkan kaidah :
لاحكم الالله
Artinya
“tidak
ada hukum kecuali bersumber dari Allah SWT.”
Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8
KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP, pengertian
hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.
Menurut Syekh Kholil
pengikut mazhab Maliki, seorang hakim (qadli) harus memenuhi beberapa syarat.
Yaitu: adil, laki-laki, berakal, seoarang mujtahid, atau muqallid.
Dalam memutuskan sebuah
perkara seorang hakim (qadli) tidak boleh dalam keadaan marah, karena bisa saja
dia akan memutuskannya tidak sesuai dengan hukum islam, melainkan dia akan
mengedepankan emosinya belaka.
Dalam hadis riwayat arbah
yang diceritakan oleh sahabat Buraidah bahwa hakim (qadli) dibagi menjadi tiga
golongan:
a.
Seorang hakim yang mengerti kebenaran yang diajarkan
oleh syari’at islam, dan memutuskan sesuai dengan pengetahuan dan kebenaran
tersebut, maka seorang hakim tersebut termasuk orang yang akan selamat dan
masuk surga.
b.
Seorang hakim yang telah memenuhi kriteria sebagai
hakim, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam sebuah keputusan yang ia hadapi,
maka golongan ini termasuk hakim yang tidak ideal dan masuk neraka.
c.
Seorang hakim yang tidak memenuhi kriteria sebagai
hakim dan tidak mengetahui kebenaran islam, dan dia memutuskan suatu
perkara berdasarkan kebodohan tersebut,maka golongan ini akan masuk neraka .
2.
LARANGAN HAKIM MEMINTA JABATAN
a.
Dasar Hadits
1 )
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ
عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَنِعْمَ
الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتْ الْفَاطِمَةُ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حُمْرَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ
جَعْفَرٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَوْلَهُ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Ahmad
bin Yunus telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b dari Sa'id
Al Maqburi dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: “ kalian akan rakus terhadap jabatan,
padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan dihari kiamat, ia adalah
seenak-enak penyusuan dan segetir-getir penyapihan”. Muhamad bin Basyar
berkata; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Humran telah
menceritakan kepada kami Abdul Hamid bin Ja'far dari Sa'id Al Maqburi
dari Umar bin Al Hakam dari Abu Hurairah seperti diatas.
2)
حَدَّثَنَا أَبُو
مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْوَارِثِ حَدَّثَنَا يُونُسُ
عَنْ الْحَسَنِ قَالَ
حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
سَمُرَةَ قَالَ : قَالَ
لِي اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ رَسُولُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
سَمُرَةَ ا تَسْأَلْلَ الْإِمَارَةَ فَإِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ
مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا
حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ
فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي
هُوَ خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ
يَمِينِكَ
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Abu
Ma'mar telah menceritakan kepada kami 'Abdl Warits telah
menceritakan kepada kami Yunus dari Al Hasan mengatakan telah
menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab
jika kamu diberi jabatan dengan meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika
kamu diberi dengan tanpa meminta, maka kamu akan diotolong, dan jika kamu
melakukan suatu sumpah, lantas kau lihat selainnya lebih baik, maka lakukanlah
yang lebih baik dan bayarlah kafarat sumpahmu."
b.
Kandungan Hadits
1)
Mengemban jabatan kekuasaan
merupakan sebuah tanggung jawab yang teramat besar karena akan menimbulkan
celaan, penyesalan dan siksaan di hari kiamat kelak. Kecuali bila ia
mengembannya berlaku adil dan melaksanakan semua kewajibannya. Akan tetapi
orang seperti ini sangatlah sedikit. Bagaimana mungkin ia mampu berbuat adil
jika sebuah perkara berkaitan dengan kerabat, sahabat, dan orang-orang yang ia
cintai.
2) Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Seseorang yang meminta
jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia,
menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini
jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di
akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 2/469)
3)
Bagi siapa yang meminta jabatan
pemerintahan maka ia tidak boleh diberi jabatan itu. Islam tidak memberikan
jabatan kekuasaan kepada orang yang memintanya, menginginkannya dan berambisi
untuk mendapatkannya. Orang yang paling berhak mendapatkan jabatan kekuasaan
adalah orang yang menjauhkan diri dan tidak suka menerimanya.
4)
Dalam Syarah Ijmali
Secara umum
hadis ini menunjukkan larangan dari meminta jabatan, dengan ungkapan yang indah
seperti tersebut dalam hadis ini. Ada sebuah ancaman yang jelas bagi
orang-orang yang memaksa untuk meminta jabatan, yaitu engkau ditinggalkan oleh
Allah SWT, lalu dirimu dikuasai oleh setan, maka setan akan menjerumuskanmu
kepada hal-hal yang tidak diperbolehkan syari’at islam. Sedangkan pertolongan
yang menyelamatkan itu semuanya pasti dari Allah SWT (secara hakikat). Dari
ungkapan yang Rasululloh SAW ucapkan dalam hadis ini menunjukkan bahwa hukum
asal dari meminta jabatan itu dilarang, dan setiap yang dilarang itu hukumnya
adalah haram, sebagaimana yang disebutkan dalam qawa’idh ushul fiqih bahwa
hukum asal yang dilarang itu menunjukkan kepada haram, kecuali ada dalil yang
memalingkannya.
Pada
dasarnya memang tidak boleh seseorang itu meminta untuk dijadikan hakim.
Meskipun dalam dirinya itu sudah memenuhi kompetensi dan syarat-syarat untuk
menjadi hakim. Karena kekuasaan itu tidak diboleh diminta.
Namun dalam
keadaan tertentu semua ini bisa saja berubah. Maksudnya adalah, bila dalam
suatu negeri tidak ada seorangpun yang mampu untuk menjadi seorang hakim yang
adil (misalnya; hakim adalah salah satu contoh jabatan), maka tidak disalahkan
seseorang (yang kompeten tentunya) itu untuk meminta dijadikan hakim, bahkan
keadaan itu sangat dianjurkan. Sebagian ahli fikih berpendapat, bahkan
diperbolehkan dalam keadaan ini seseorang tersebut sampai melakukan sogokan.
Meskipun sebagian lainnya tidak menyepakati pendapat itu.
5)
Barangsiapa diangkat untuk mengemban
suatu jabatan dengan tanpa memintanya maka Allah akan membantunya dalam
melaksanakan tugas-tugasnya dan menyiapkan untuknya seorang penasehat shalih
yang dapat menyuruh dan membantunya dalam berbuat makruf serta melarang dan
berusaha untuk menjauhkan dirinya dari perbuatan mungkar.
6)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam
kitab Fathul Baari (XIII/126), "Sesungguhnya para pemimpin yang
hanya merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dari jabatannya serta tidak pernah
mendapatkan kesusahan dan kesulitan, maka semasa di dunia ia harus dipecat dari
jabatan hingga ia merasakan kesulitan, maka semasa di dunia ia harus dipecat
dari jabatan hingga ia merasakan kesulitan, atau ia akan mendapat siksaan yang
lebih berat di akhirat nanti. Nasallahu al-'afwa (kita memohon ampunan
kepada Allah). Saya katakan, "Inilah maksud dari sabda Rasulullah saw, "Sungguh
hal itu ibarat sebaik-baik penyusuan dan dan sejelek-jelek penyapihan'."
7)
Beliau juga menukil perkataan
al-Muhallab dalam Fathul Baari (XIII/126), "Ambisi untuk mendapatkan
suatu jabatan merupakan penyebab timbulnya peperangna di kalangan manusia
hingga terjadi pertumpahan darah dan perampasan harta, pemerkosaan dan
penyebab utama terjadinya kerusakan besar di muka bumi." Saya katakan,
"Inilah makna dari sabda Rasulullah saw, 'Kalian nantinya akan
berambisi untuk menjadi penguasa...,
BAB III
P E N U T U P
KESIMPULAN
a. Hakim adalah orang yang memutuskan hukum
di pengadilan disebut juga dengan Qadhi, yang merupakan pejabat
peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili
b. Peranan hakim menjadi kunci dari citra
yang diemban dari lembaga peradilan,bila hakim-hakim yang ada merupakan
representasi dari orang yang memiliki akhlak yang baik maka citra peradilan
akan menjadi baik pula,akan tetapi bila terdapat hakim yang kurang mencerminkan
akhal yang baik,maka citra peradilan pun akan tercoreng dengan olah dari oknum
hakim tersebut.
c. Meminta jabatan merupakan larangan keras oleh Allah ,
sebab jika diberi jabatan dengan meminta, maka akan ditelantarkan oleh Allah, akan
tetapi jika diberi jabatan tanpa meminta, maka akan ditolong oleh Allah .
DAFTAR BACAAN
2.
Sahih Bukhari
3.
Syarh Riyadhush
Shalihin
4.
Effendi, Satria (2009) Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana
5.
Syafe’i, Rachmat (2007) Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:
Pustaka Setia
6.
Buku ajar, Memahami Sumber Hukum Islam yang
Mukhtalaf
7.
Khalaf, Syekh Abdul Manaf (2005) Terjemahan
Ilmu Ushul Fiqh Jakarta: Rineka Cipta
8.
Syarifuddin, Amir (1997) Ushul Fiqh Jilid I
Jakarta: Logos Wacana Ilmu
9.
Firdauz (2004) Ushul Fiqh Jakarta:
Zikrul Hakim
10.
Jumantoro, totok dan Samsul Munir Amin (2005) Kamus
Ilmu Ushul Fikih Jakarta: Amzah
11.
Dahlan, Abd Rahman (2010) Ushul Fiqh Jakarta:
Amzah
12.
Biek, Syaikh Muhammad al-Khudari (2007) Terjemahan
Ushul Fikih Jakarta: Pustaka Amani
13.
Zahra, Abu Muhammad (1994) Terjemaha Ushul
al-Fiqh Jakarta: Pustaka Firdaus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar