BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN
A.
Pengertian Pernikahan Dan Dasar Hukumnya
1.
Pengertian Pernikahan
Nikah adalah
salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat
yang sempurna, karena sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang
seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia[21] .
Lafazh nikah mengandung tiga
arti yaitu :
a.
Menurut
bahasa
Menurut bahasa nikah berarti sssberkumpul atau menindas.
b.
Menurut
ulama ahli ushul berkembang tiga macam pendapat tentang arti lafazh nikah, diantaranya adalah :
1)
Nikah
menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majasi
(metaforis) akad yang menjadikannya halal hubungan kelamin antara wanita dan
pria demikian menurut golongan Hanafi.
2)
Nikah
menurut aslinya adalah akad yang dengan akad ini meenjadi halal hubungan
kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh,
demikian menurut golongan syafi’iyah.
3)
Nikah,bersyarikat artinya antara akad dan setubuh hal ini
menurut Abu al Qasim,Imam Yahya Ibnu Hazm dan sebagian sahabat Abu Hanifah.
c.
Menurut
Ulama fiqih
Nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan pada pria
hak penggunaan faraj (Kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan
sebagai tujuan primer[22].
2.
Rukun, Syarat dan Tujuan Pernikahan
Suatu ibadah dikategorikan sah diukur dari terpenuhinya
rukun-rukunya karena rukun adalah suatu pekerjaan atau kelakuaan yang menjadi perantara sahnya pekerjaan lain
yang dituju .
Adapun rukun nikah diataranya adalah :
a.
Dihadiri
minimal dua orang saksi yang baligh,berakal,adil serta mendengarkan ucapan ijab
dan kabul secara jelas dan maksud yang dituju oleh ucapan tersebut benar-benar
untuk nikah.
b.
Adanya
wali mempelai wanita yang merdeka,baligh, laki-laki,muslim baik dari nasab
langsung maupun kerabat karena sebab tertentu seperti wali bepergian jauh,atau pun
menolak.
c.
Adanya
calon suami yang memang berkehendak hati akan menikah, bila calon suami
berhalangan hadir maka dapat diwakilkan.
d.
Adanya
sighat ijab kabul, yaitu pernyataan keinginan seseorang terhadap pihak yang
lain untuk melakukan ikatan perkawinan serta pernyataan persetujuan dari pihak
kedua atas ikatan perkawinan tersebut [23] .
Yang dimaksud dengan syarat pernikahan adalah sesuatu yang mesti
ada dalam pernikahan tetapi tidak termasuk salah satu bagian daripada hakekat
pernikahan[24].
Syarat merupakan sesuatu
hal yang harus
dijalani dalam Pernikahan.
apabila syarat tidak
dipenuhi maka bisa
menimbulkan pencegahan
terhadap Pernikahan, sebagaimana dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 60 ayat 1 yaitu
pencegahan Perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu Perkawinan yang dilarang hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan. Dan pada ayat 2 yaitu pencegahan Perkawinan dapat
dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan Perkawinan tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
Perkawinan menurut hukum
Islam dan Peraturan
Perundang-undangan pernikahan yakni berkaitan dengan hal-hal sebagai
berikut :
a.
Akad,
serta sebagian yang lainya berkaitan dengan saksi.
1)
Sighat, yaitu ibarat ijab qabul, dengan syarat :
a)
Menggunakan lafal
tertentu, baik dalam
lafal sarih. Misalnya
Tazwij atau Nikah.
b)
Ijab-qabul
dilakukan didalam satu majelis;
c)
Sighat
didengar oleh orang-orang yang menyaksikan;
d)
Ijab-qabul
tidak berbeda maksud dan tujuan;
e)
Lafaz
sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu.
2)
Akad, dapat
dilaksanakan dengan syarat-syarat
apabila kedua calon pengantin berakal, baligh dan
merdeka.
3)
Saksi,
harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya
disaksikan oleh satu orang saksi. Dengan syarat-syarat :
a)
Berakal;
b)
Baligh;
c)
Merdeka;
d)
Islam;
e)
Kedua
orang saksi mendengar.
b.
Undang-undang nomor
1 tahun 1974
tentang perkawinan syarat-syarat perkawinan disebutkan dalam
pasal 6 sebagai berikut:
1)
Perkawinan
harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai.
2)
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat ijin orang tua.
3)
Dalam hal
orang tua yang
telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknya maka ijin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari
orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4)
Dalam hal
orang tua telah
meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah garis keturunan
keatas selama mereka
masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5)
Dalam
hal ada perbedaan antara orang-orang yan disebut dalam ayat (2), (3) dan
(4) pasal ini,
atau salah seorang
atau diantara mereka
tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang
melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dalam
memberikan ijin setelah leboh dahulu mendengat orang-orang tersebut dalam ayat
dan pasal ini.
6)
Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya
itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
c.
Syarat
pernikahan secara umum ada lima macam yaitu:
1)
Ketentuan adanya
masing-masing pasangan. Karena
nikah merupakan aqad yang
dilakukan secara timbal balik.
2)
Keridhaan
masing-masing pasangan.
3)
Wali.
Pernikahan tanpa wali tidak dianggap sah. Sedang syarat wali ada tujuh yaitu:
merdeka, laki-laki, adanya
kesamaan agama antara
wali dengan orang yang di wali, baligh, berakal, adil dan benar.
4)
Kesaksian.
Pernikahan tidak dapat dilaksanakan
kecuali ada dua orang saksi.
5)
Masing-masing pasangan
terbebas dari larangan
untuk melaksanakan pernikahan
karena suatu sebab atau karena masih ada keturunan [25]
Tujuan Pernikahan sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang R.I
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada bab I pasal 1 dijelaskan bahwa
perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Bab II Pasal 3 dikatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah,mawaddah dan rahmah.
Tujuan perkawinan di dalam ajaran Islam yang pertama adalah seperti
yang disebutkan dalam A-Quran[26] :
وَمِنْ آيَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
-
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia Menciptakan
pasangan-pa-sangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia Menjadikan di antara mu rasa kasih dan sayang.
Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir (Q.S. Ar-Rum ; 21)
Tujuan yang
kedua adalah untuk menenangkan pandangan mata dan menjaga keharmatan diri,
sebagaimana dinyatakan dalam Hadits riwayat Jamaah yang
berbunyi :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. الجماعة
Artinya :
Dari Ibnu Mas’ud, Ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “ Hai para pemuda,
barang siapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena
sesungguhnya nikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga
kemaluan. Dan barang siapa yang belummampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena
berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat”. ( HR. Jamaah)
Selain dari dua
hal tersebut di atas maka tujuan yang
ketiga adalah untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman.kuat ilmu
dan kuat amal[27] .
3.
Dasar Hukum Pernikahan
a.
Al-Quran
dan Hadits
Pada dasarnya pernikahan itu dianjurkan oleh syar’i.
Firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 3 [28] :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ
لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ -٣-
Artinya :
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu
khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau
hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.Yang demikian itu lebih dekat agar kamu
tidak berbuat zalim.
Selain ayat diatas masih ada beberapa ayat yang
dijadikan dasar perintah untuk melaksanakan pernikahan diantaranya:
Pada Al-Quran surat An Nisa’ ayat 1 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء
وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيباً -١-
Artinya :
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
Menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) Menciptakan
pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah
Memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada
Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta,dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu Menjaga dan Mengawasimu[29]
Dalam surat yang lain Allah berfirman :
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
-٣٢-
Artinya :
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di
antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan Memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya),
Maha Mengetahui (QS.An-Nur 32)
Adapun dalam hadits kita temukan riwayat , sebagai
dasar anjuran untuk melaksanakan pernikahan diantaranya adalah :
البكاح سبتي فمن رفب
عن سنتي فليس مني (رواه مسلم )
Artinya
Nikah adalah sunnahku, barang siapa tidak senang dengan sunnahku maka
tidak termasuk golonganku (HR.Muslim)[30]
Dalam riwayat lain dikatakan :
وَعَنْهُ قَالَ : (
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى
عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ
اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ )
رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
Artinya :
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu
‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami
berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah
perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan
berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih
menurut Ibnu Hibban.[31]
Dari beberapa ayat dan hadits diatas dapat dikatakan bahwa dasar
hukum pernikahan dalam Al Quran dan hadits cukup jelas dimana keduanya sangat
menganjurkan pernikahan itu dengan baik bagi umat islam .
b.
Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
Pemerintah Indonesia sangat serius mengatur tentang pernikahan di
Indonesia, hal ini ditandai dengan dibuatnya undang-undang yang mengatur
pernikahan, diantaranya adalah :
1)
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan .
Dalam
undang-undang ini diatur tentang perkawinan yang meliputi
a)
Dasar-dasar
perkawinan
b)
Syarat-syarat
perkawinan
c)
Pencegahan
perkawinan
d)
Batalnya
perkawinan
e)
Perjanjian
perkawinan
f)
Hak
dan kewajiban suami-istri
g)
Putusnya
perkawinan serta akibatnya
h)
Kedudukan
anak
i)
Hak
dan kewajiban antara orang tua dan anak
j)
Perwalian
k)
Pembuktian
asal usul anak
l)
Perkawinan
di luar Indonesia
m)
Perkawinan
Campuran
2)
Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
Perkawinan
pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan pada buku I, dimana dalam
pelaksanaannya dikeluarkan Instruksi Presiden RI (Inpres RI) nomor 1 tahun
1991 yang berisi tentang perintah Presiden kepada Menteri Agama untuk
menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada masyarakat Indonesia.
Dalam
Kompilasi hukum Islam (KHI) Buku I, menjelaskan pokok-pokok tentang :
a)
Dasar-dasar
perkawinan
b)
Peminangan
c)
Rukun
dan syarat perkawinan
d)
Mahar
e)
Larangan
kawin
f)
Perjanjian
perkawinan
g)
Perkawinan
dengan wanita hamil
h)
Beristri
lebih dari satu
i)
Pencegahan
perkawinan
j)
Batalnya
perkawinan
k)
Hak dan
kewajiban suami istri
l)
Harta
kekayaan dalam perkawinan
m)
Pemeliharaan
anak
n)
Perwalian
o)
Putusnya
perkawinan
p)
Akibat
putusnya perkawinan
q)
Rujuk
r)
Masa
berkabung
B.
Prosedur Pencatatan Nikah dan Dasar Hukumnya
1.
Pengertian Pencatatan Nikah
Pada dasarnya
syari’at Islam tidak
mewajibkan adanya pencatatan
terhadap setiap terjadinya akad
pernikahan, namun dilihat
dari segi manfaatnya
pencatatan nikah amat sangat diperlukan, karena pencatatan nikah dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang otentik
agar seseorang mendapatkan
kepastian hukum. Hal
ini sejalan dengan ajaran
islam sebagaiman firman
Allah yang termaktub
dalam surah al- Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
Artinya :
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu
bermu'amalah (seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa
menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah/02:282)
Ayat tersebut menjelaskan
tentang perintah pencatatan
secara tertulis dalam segala
bentuk urusan mu’amalah,
seperti perdagangan, hutang
piutang dan sebagainya.
Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa, alat bukti tertulis itu statusnya lebih
adil dan
benar disisi Allah
dapat menguatkan persaksiaan,
sekaligus dapat menghindarkan
kita dari keraguan. Setelah mendapatkan sumber nash yang menjadi dasar rujukan
untuk memahami hukum
pencatatan nikah, kemudian
mencari illat yang
sama-sama terkandung dalam
akad nikah dan
akad mu’amalah, yaitu
adanya penyalah gunaan atau mudharat apabila tidak ada alat bukti tertulis yang menunjukan sahnya akad
tersebut. Jadi, qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat dilakukan.
Untuk itu kita
dapat mengatakan bahwa pencatatan akad nikah hukumnya wajib, sebagaimana juga
diwajibkan dalam akad
mu’amalah. Alat bukti
tertulis dapat dipergunakan untuk
hal-hal yang berkenaan
dengan kelanjutan akad
pernikahan.
Adanya alat
bukti ini, pasangan
pengantin dapat terhindar
dari mudharat dikemudian hari
karena alat bukti tertulis ini dapat memproses secara hukum berbagai
persoalan rumah tangga, terutama
sebagai alat bukti paling sahih dalam pengadilan agama.
Sangat pentingnya
pencatatan perkawinan pada masyarakat maka pemerintah Indonesia mengaturnya melalui
perundang-undangan, baik Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan maupun
melalui Kompilasi Hukum
Islam. Pencatatan perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan
hukum Islam maupun
perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum
Islam.
Pencatatan
perkawinan merupakan upaya
untuk menjaga kesucian dari akad nikah seorang laki-laki dan perempuan . Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah yang
masing-masing dimiliki oleh
suami dan istri
salinannya. Akta tersebut, dapat digunakan
oleh masing-masing pihak
bila ada yang
merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan
haknya.
Sejalan dengan
perkembangan zaman dan
modernisasi maka perjanjian yang dulunya cukup dengan lisan saja kini harus
dituangkan dalam bentuk tulisan agar berkekuatan hukum tetap, hal itu akan
sangat membantu apabila dikemudian hari terjadi permasalahan maka tulisan itu
akan dapat dijadikan bukti autentik, disisi lain saksi hidup tidak lagi bisa
diandalkan karena bisa hilang
dengan sebab kematian,
manusia juga dapat
mengalami kelupaan dan kesalahan. Atas
dasar ini diperlukan
sebuah bukti yang
abadi itulah yang
disebut dengan akta.
Pencatatan perkawinan
adalah suatu yang
dilakukan oleh pejabat
Negara terhadap peristiwa perkawinan.
Dalam hal ini
pegawai pencatat nikah
yang melangsungkan
pencatatan, ketika akan
melangsungkan suatu akad
perkawinan antara calon suami dan calon istri.
Pencatatan adalah
suatu administrasi Negara
dalam rangka menciptakan ketertiban dan
kesejahteraan warga negaranya.
Mencatat artinya memasukan perkawinan itu
dalam buku akta
nikah dan dikeluarkan kutipannya untuk
masing-masing suami istri.
Kutipan akta nikah itu
sebagai bukti otentik
yang dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah, Talak,
dan Rujuk. Juga
oleh pegawai perkawinan
pada Kantor Catatan
Sipil
2.
Tujuan Pencatatan Nikah
Pernikahan sebaiknya
diproyeksikan untuk mencegah
mudharat yang akan terjadi bila pembinaan rumah tangga
tidak dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Pencatatan
nikah bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini
merupakan suatu upaya
yang diatur melalui
perundang-undangan untuk
melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam
kehidupan rumah tangga.
Melalui pencatatan nikah
yang dibuktikan oleh
akta, apabila terjadi perselisihan
di antara suami
istri maka salah
satu diantaranya dapat melakukan upaya
hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing- masing. Karena
dengan akta tersebut,
suami istri memiliki
bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka
lakukan.
Pencatatan nikah
juga berfungsi sebagai
“pengatur” lalu lintas
praktik poligami yang sering
dilakukan secara diam-diam
oleh pihak-pihak tertentu
yang hanya menjadikan nikah di bawah tangan tanpa pencatatan sebagai
alat poligami atau berpoliandri. Setiap pasangan yang
akan menikah di KUA (Kantor Urusan Agama) atau KCS
(Kantor Catatan Sipil)
biasanya melalui mekanisme
pengumuman status calon mempelai
setelah terdaftar sebagai pasangan yang hendak menikah. Ketika data
tentang status masing-masing
calon mempelai diumumkan
dan ternyata ada
yang keberatan, perkawinan bisa saja batal.
Lembaga pencatatan
nikah merupakan syarat
administratif, selain
substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan
manfaat yang sangat
besar bagi kepentingan
dan kelangsungan suatu
perkawinan. Menurut Ahmad Rofiq,
ada dua manfaat
dari pencatatan nikah,
yaitu pertama, manfaat preventif
yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi penyimpangan rukun- rukun dan
syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya
maupun menurut perundang-undangan. Kedua, manfaat
represif. Hal ini dimaksudkan untuk
membantu masyarakat, agar
di dalam melangsungkan perkawinan tidak
hanya mementingkan aspek-aspek
hukum fiqih saja
tetapi juga aspek-aspek keperdataannya. Jadi,
pencatatan adalah merupakan
usaha pemerintah untuk mengayomi
masyarakat demi terwujudnya
ketertiban dan keadilan
dalam masalah perkawinan.
Adanya
pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum Negara
menjadi sah. Dan ini, penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak. Karena
dampak dari ketidak dicatatkannya perkawinan adalah:
a.
Terhadap
istri
Perkawinan
bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik
secara hukum maupun social. Secara hukum, istri tidak dianggap sebagai istri
yang sah, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia
meninggal dunia, istri
tidak berhak atas
harta gono-gini jika
terjadi perpisahan, karena secara
hukum perkawinan istri
dianggap tidak pernah
terjadi. Secara social, istri
akan sulit bersosialisasi karena
perempuan yang melakukan perkawinan bawah
tanggan sering dianggap
telah tinggal serumah
dengan laki- laki tanpa ikatan
perkawinan (alias kumpul kebo) atau istri dianggap menjadi istri simpanan.
b.
Terhadap
anak
Untuk anak,
sahnya pernikahan dibawah tangan menurut hukum Negara memiliki dampak negatif
bagi status anak
yang dilahirkan di
mata hukum. Status
anak yang di lahirkan
dianggap sebagai anak
tidak sah. Dengan
kata lain sang
anak tidak mempunyai hubungan
hukum terhadap ayahnya.
Dalam akta kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai
anak luar nikah. Akibatnya, hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.
Keterangan status sebagai anak di luar nikah dan tidak tercantumnya nama si
ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial.
3.
Biaya Pencatatan Nikah
Biaya pencatatan nikah adalah tarif yang ditetapkan oleh negara
pada setiap peristiwa nikah yang dijadikan sebagai Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sejak Indonesia merdeka, negara telah mengatur dan menetapkan biaya pencatatan
nikah dengan peraturan yang jelas, hal ini dapat kita lihat pada Undang-undang
RI nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,Talak dan Rujuk pada pasal 1 ayat (4) yang berbunyi
:
“ Seorang
yang nikah,menjatuhkan talak dan rujuk.diwajibkan membayar biaya pencatatan
yang banyaknya ditetapkan Menteri Agama. Dari mereka yang dapat menunjukkan
surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desanya (kelurahannya) tidak dipungut
biaya. Surat keterangan ini diberikan dengan percuma. Biaya nikah,talak dan
rujuk dimasukkan di dalam Kas negeri menurut aturan yangditetapkan oleh Menteri
Agama”[32].
Pencatatan Nikah yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan merupakan
pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kepentingan masyarakat, maka
sesuai dengan ketentuan Undang-undang RI Nomor 20 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) pada pasal 2 ayat (3) poin d, dikatakan bahwa
kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meliputi salah satunya adalah
penerimaan dari pelayanan yang dilaksanakan pemerintah .
Dari undang-undang diatas dipertegas kembali dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah RI nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Departemen Agama dimana didalamnya
mengatur tentang besarnya tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
pada Perguruan Tinggi Agama yang meliputi biaya seleksi masuk,SPP dan biaya
pratikum serta mengatur pula tentang biaya pencatatan nikah dan rujuk di
KUA Kecamatan. Dalam lampiran Peraturan
Pemerintah ini dikatakan bahwa penerimaan dari Kantor Urusan Agam Kecamatan
yang berkaitan dengan biaya pencatatan nikah dan rujuk ditetapkan sebesar Rp.
30 000,- per peristiwa nikah . Sejak saat itu biaya pencatatan nikah di KUA kecamatan
dikenai biaya sebesar Rp. 30 000,- per peristiwa nikah .
Dalam praktiknya tarif biaya pencatatan nikah yang telah ditetapkan
oleh peraturan pemerintah itu diatur lebih jelas lagi di dalam Peraturan
Menteri Agama nomor 43 tahun 2006 tentang Pengelolaan Biaya Pencatatan Nikah
dan Rujuk dan ditinjau kembali ke dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 71
tahun 2009 tentang Pengelolaan Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk, dimana dalam
PMA ini dijelaskan mengenai
ketentuan penerimaan dan penyetoran
biaya pencatatan nikah dari Calon Pengantin (Catin) kepada bendahara pembantu
pada KUA Kecamatan, penyetoran biaya pencatatan nikah dari bendahara
pembantu pada KUA ke kas Negara, mengatur tentang administrasi keuangannya
serta mengatur penggunaan dana tersebut .
C.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014
1. Gambaran Umum
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah .No 47 Tahun 2004 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada
Departemen Agama, mengatur
tentang biaya pencatatan nikah yang merupakan pengaturan kembali dari isi Peraturan
Pemerintah No. 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama.
Peraturan
Pemerintah ini sangat singkat karena hanya berisi dua pasal saja, pasal pertama berisi tentang
perubahan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah
sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 47
tahun 2004. Perubahan itu diantaranya adalah :
a.
Pada pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2014 yang berbunyi :
1)
Kepada
warga negara yang tidak mampu dapat dibebaskan dari kewajiban pembayaran tarif
Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk.
2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai kriteria warga negara yang tidak mampu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Agama setelah mendapat
persetujuan Menteri Keuangan.
Ketentuan itu
selanjutnya diubah pada pasal I Peraturan Pemerintah No.48 tahun 2014 menjadi
berbunyi :
1)
Setiap warga
negara yang melaksanakan
nikah atau rujuk di Kantor Urusan
Agama kecamatan atau di luar Kantor Urusan
Agama Kecamatan tidak
dikenakan biaya pencatatan nikah
atau rujuk.
2)
Dalam hal
nikah atau rujuk
dilaksanakan di luar
Kantor Urusan Agama
Kecamatan dikenakan biaya
transportasi dan jasa
profesi sebagai penerimaan
dari Kantor Urusan Agama
Kecamatan.
3)
Terhadap warga
negara yang tidak
mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah
atau rujuk di
luar Kantor Urusan
Agama Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dikenakan
tarif Rp0,00 (nol rupiah).
4)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai syarat
dan tata cara
untuk dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada warga
negara yang tidak
mampu secara ekonomi
dan/atau korban bencana
yang melaksanakan nikah
atau rujuk di
luar Kantor Urusan
Agama Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan
Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
b.
Ketentuan pada lampiran II Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2004 yang
berbunyi :
II. PENERIMAAN
DARI KANTOR URUSAN
AGAMA KECAMATAAN
Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk Per
peristiwa 30.000,00
Ketentuan
itu kemudian diubah dalam Pasal I ayat
(2) pada Peraturan Pemerintah Nomor 48
tahun 2014 yang berbunyi :
2. Ketentuan dalam Lampiran angka II mengenai
Penerimaan
dari Kantor
Urusan Agama Kecamatan
diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
JENIS
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
|
SATUAN
|
TARIF (Rp)
|
II. PENERIMAAN DARI
KANTOR URUSAN
AGAMA KECAMATAN
|
per
peristiwa nikah atau rujuk
|
600.000,00
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 ini merupakan pemenuhan ketentuan Undang- Undang
Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang berlaku kusus pada Kementerian Agama .
2. Latar Belakang lahirnya Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014
Yang
melatar belakangi lahirnya Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2014 ini
diantaranya adalah :
a. Adanya
temuan Irjend Kementerian Agama bahwa biaya pencatatan nikah sesuai dengan
Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 2004 sebesar Rp. 30 000,00 tiap peristiwa, pada kenyataannya banyak
terjadi penyimpangan, artinya KUA
Kecamatan seluruh Indoneesia menerima biaya pencatatan nikah melebihi
ketentuan tersebut, bahkan M. Yasin Irjend
Kementerian Agama RI menyatakan tentang indikasi adanya praktik pungutan liar (pungli)
atau gratifikasi biaya nikah yang dilakukan penghulu di Kantor Urusan
Agama (KUA). Pernyataan itu dikarenakan biaya resmi pencatatan nikah hanya tiga
puluh ribu akan tetapi pada praktiknya dipungut hingga tiga ratus sampai
mencapai lima ratus ribu rupiah bahkan mungkin ada yang lebih. Jika
dikomulatifkan, menurut Yasin dalam pernyataannya ada triliunan dana yang
dipungli penghulu di Kantor Urusan Agama jika diasumsikan ada dua juta
peristiwa nikah yang dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA)[33].
b. Dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004 tidak diatur tentang
transportasi dan tunjangan jasa profesi dari PPN yang melaksanakan pencatatan
nikah diluar kantor maupun di luar jam kerja sehingga dalam proses pencatatan
nikah yang dimulai dari pendaftaran nikah,pemerksaan hingga pencatatan nikah
memicu adanya tambahan biaya yang diberikan oleh calon pengantin kepada PPN,
tambahan biaya itulah belakangan merupakan gratifikasi yang dapat
dijerat oleh hukum .
Melihat
kenyataan itu, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun
2014 agar hal – hal diatas itu tidak terjadi lagi dikemudian hari, juga PPN
dapat melaksanakan pencatan nikah dengan baik , semangat dan penuh tanggung jawab.
3. Tujuan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014
Adapun
tujuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 ini diantaranya adalah :
a.
Untuk peningkatan
pelayanan pencatatan nikah
atau rujuk oleh KUA Kecamatan sehingga dapat menciptakan pelayanan prima baik
dikantor maupun pelayanan pencatatan nikah diluar kantor .
b.
Untuk melakukan
penyesuaian jenis dan
tarif atas jenis
Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) sebagaimana
diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 47
Tahun 2004 yang berlaku pada
Kementerian Agama.
c.
Upaya
mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) guna menunjang pembangunan nasional, sebagai salah satu
sumber penerimaan negara
yang perlu dikelola
dan dimanfaatkan untuk
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
d.
Untuk
memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP), yang menyangkut jenis
dan tarif atas
jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku
pada Kementerian Agama .
[21] Sulaiman Rasjid,2013,Fiqh Islam,Bandung,Sinar
Baru Algensindo,hal 374
[22] Dirjend
Bimas islam dan Penyelenggara Haji,Departemen Agama R.I,th. 2005, Pedoman
penghulu, Jakarta,
hal.60
[23] Ali Sunarso,Mochlasin,2005,Islam Doktrin
dan Konteks Studi Islam Komprehensif,Pilar
Media,Yugyakarta, hal 181
[24] Sanusi Nur Tufiq, 2010,Fikih Rumah Tangga,Depok,
Elsas, hal. 32
Pernikahan Menjadi Tinggi (Studi
Pada Kantor Urusan Agama Kec. Bumijawa Kab.
Tegal Tahun 2009-2013) , Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
hal,35-38
[26] Dirjend Bimas Islam Departemen Agama RI,2007,Modul
Pelatihan Motivator Keluarga
Sakinah,Jakarta
hal.103
99
414
[32] Kanwil Kementerian Agama Prov.Jawa Tengah,2013,Himpunan
Aturan
Kepenghuluan,Semarang,hal 7
[33] Sopian Hadi, 2013, Artikel, Solusi
HindariGratifikasi Biaya Nikah,Penamas dan Pekapontren Kemenag
Rokan Hulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar