Selasa, 18 April 2017

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN



BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN

A.    Pengertian Pernikahan Dan Dasar Hukumnya
1.      Pengertian Pernikahan
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, karena sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia[21] .
 Lafazh nikah mengandung tiga arti yaitu :
a.       Menurut bahasa
Menurut bahasa nikah berarti sssberkumpul atau menindas.
b.      Menurut ulama ahli ushul berkembang tiga macam pendapat tentang arti lafazh  nikah, diantaranya adalah :
1)      Nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majasi (metaforis) akad yang menjadikannya halal hubungan kelamin antara wanita dan pria demikian menurut golongan Hanafi.
2)      Nikah menurut aslinya adalah akad yang dengan akad ini meenjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh, demikian menurut golongan syafi’iyah.
3)      Nikah,bersyarikat  artinya antara akad dan setubuh hal ini menurut Abu al Qasim,Imam Yahya Ibnu Hazm dan sebagian sahabat Abu Hanifah.
c.       Menurut Ulama fiqih
Nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan pada pria hak penggunaan faraj (Kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer[22].
2.      Rukun, Syarat dan Tujuan Pernikahan
Suatu ibadah dikategorikan sah diukur dari terpenuhinya rukun-rukunya karena rukun adalah suatu pekerjaan atau kelakuaan  yang menjadi perantara sahnya pekerjaan lain yang dituju .
Adapun rukun nikah diataranya adalah :
a.       Dihadiri minimal dua orang saksi yang baligh,berakal,adil serta mendengarkan ucapan ijab dan kabul secara jelas dan maksud yang dituju oleh ucapan tersebut benar-benar untuk nikah.
b.      Adanya wali mempelai wanita yang merdeka,baligh, laki-laki,muslim baik dari nasab langsung maupun kerabat karena sebab tertentu seperti wali bepergian jauh,atau pun menolak.
c.       Adanya calon suami yang memang berkehendak hati akan menikah, bila calon suami berhalangan hadir maka dapat diwakilkan.
d.      Adanya sighat ijab kabul, yaitu pernyataan keinginan seseorang terhadap pihak yang lain untuk melakukan ikatan perkawinan serta pernyataan persetujuan dari pihak kedua atas ikatan perkawinan tersebut [23] .
Yang dimaksud dengan syarat pernikahan adalah sesuatu yang mesti ada dalam pernikahan tetapi tidak termasuk salah satu bagian daripada hakekat pernikahan[24].
Syarat  merupakan  sesuatu  hal  yang  harus  dijalani  dalam  Pernikahan.  apabila  syarat  tidak  dipenuhi  maka  bisa  menimbulkan  pencegahan terhadap  Pernikahan,  sebagaimana dalam  Kompilasi  Hukum  Islam Pasal 60 ayat 1 yaitu pencegahan Perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu  Perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Dan pada ayat 2 yaitu pencegahan Perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau isteri yang akan melangsungkan Perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan  Perkawinan  menurut  hukum  Islam  dan  Peraturan  Perundang-undangan pernikahan yakni berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut : 
a.       Akad, serta sebagian yang lainya berkaitan dengan saksi.
1)        Sighat,  yaitu ibarat ijab qabul, dengan syarat : 
a)      Menggunakan  lafal  tertentu,  baik  dalam  lafal  sarih.  Misalnya  Tazwij atau Nikah.  
b)      Ijab-qabul dilakukan didalam satu majelis; 
c)      Sighat didengar oleh orang-orang yang menyaksikan; 
d)     Ijab-qabul tidak berbeda maksud dan tujuan; 
e)      Lafaz sighat tidak disebutkan untuk waktu tertentu. 
2)      Akad,  dapat  dilaksanakan  dengan  syarat-syarat  apabila  kedua  calon pengantin berakal, baligh dan merdeka. 
3)      Saksi, harus terdiri atas dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang saksi. Dengan syarat-syarat : 
a)      Berakal; 
b)      Baligh; 
c)      Merdeka; 
d)     Islam; 
e)      Kedua orang saksi mendengar.
b.      Undang-undang  nomor  1  tahun  1974  tentang  perkawinan  syarat-syarat perkawinan disebutkan dalam pasal 6 sebagai berikut: 
1)   Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai. 
2)   Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin orang tua. 
3)   Dalam  hal  orang  tua  yang  telah  meninggal  dunia  atau  dalam  keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka ijin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 
4)   Dalam  hal  orang  tua  telah  meninggal  dunia  atau  dalam  keadaan  tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah    garis  keturunan  keatas  selama  mereka  masih  hidup  dan  dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 
5)   Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yan disebut dalam ayat (2), (3)  dan  (4)  pasal  ini,  atau  salah  seorang  atau  diantara  mereka  tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal  orang  yang  melangsungkan  perkawinan  atas  permintaan  orang tersebut dalam memberikan ijin setelah leboh dahulu mendengat orang-orang tersebut dalam ayat dan pasal ini. 
6)   Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum  masing-masing  agamanya  dan  kepercayaanya  itu  dari  yang bersangkutan tidak menentukan lain.   
c.       Syarat pernikahan secara umum ada lima macam yaitu: 
1)      Ketentuan  adanya  masing-masing  pasangan.  Karena  nikah  merupakan aqad yang dilakukan secara timbal balik. 
2)      Keridhaan masing-masing pasangan. 
3)      Wali. Pernikahan tanpa wali tidak dianggap sah. Sedang syarat wali ada tujuh  yaitu:  merdeka,  laki-laki,  adanya  kesamaan  agama  antara  wali dengan orang yang di wali, baligh, berakal, adil dan benar. 
4)      Kesaksian. Pernikahan tidak dapat dilaksanakan  kecuali ada dua orang saksi. 
5)      Masing-masing  pasangan  terbebas  dari  larangan  untuk  melaksanakan pernikahan karena suatu sebab atau karena masih ada keturunan [25]
Tujuan Pernikahan sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada bab I pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II Pasal 3 dikatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah dan rahmah.
Tujuan perkawinan di dalam ajaran Islam yang pertama adalah seperti yang disebutkan dalam A-Quran[26] :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ -  
Artinya :
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia Menciptakan pasangan-pa-sangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia Menjadikan di antara mu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (Q.S. Ar-Rum ; 21)
Tujuan yang kedua adalah untuk menenangkan pandangan mata dan menjaga keharmatan diri, sebagaimana dinyatakan dalam Hadits riwayat Jamaah yang berbunyi :

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَ اَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. الجماعة
Artinya :
Dari Ibnu Mas’ud, Ia berkata :  Rasulullah SAW bersabda, “ Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu dapat menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belummampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat”. ( HR. Jamaah)
Selain dari dua hal  tersebut di atas maka tujuan yang ketiga adalah untuk mendapatkan keturunan yang sah, yang kuat iman.kuat ilmu dan kuat amal[27] .

3.      Dasar Hukum Pernikahan
a.       Al-Quran dan Hadits
Pada dasarnya pernikahan itu dianjurkan oleh syar’i. Firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 3 [28]  :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ -٣-
Artinya :
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.
Selain ayat diatas masih ada beberapa ayat yang dijadikan dasar perintah untuk melaksanakan pernikahan diantaranya:
Pada Al-Quran surat An Nisa’ ayat 1 yang berbunyi :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً -١-
Artinya :
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah Menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) Menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah Memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta,dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu Menjaga dan Mengawasimu[29]
Dalam surat yang lain Allah berfirman :

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ -٣٢-
Artinya :
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan Memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui (QS.An-Nur 32)
Adapun dalam hadits kita temukan riwayat , sebagai dasar anjuran untuk melaksanakan pernikahan diantaranya adalah :
البكاح سبتي فمن رفب عن سنتي فليس مني  (رواه مسلم )
Artinya
Nikah adalah sunnahku, barang siapa tidak senang dengan sunnahku maka tidak termasuk golonganku  (HR.Muslim)[30]
Dalam riwayat lain dikatakan :
وَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

Artinya :
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.[31]
Dari beberapa ayat dan hadits diatas dapat dikatakan bahwa dasar hukum pernikahan dalam Al Quran dan hadits cukup jelas dimana keduanya sangat menganjurkan pernikahan itu dengan baik bagi umat islam .
b.      Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Pemerintah Indonesia sangat serius mengatur tentang pernikahan di Indonesia, hal ini ditandai dengan dibuatnya undang-undang yang mengatur pernikahan, diantaranya adalah :
1)   Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .
Dalam undang-undang ini diatur tentang perkawinan yang meliputi
a)      Dasar-dasar perkawinan
b)      Syarat-syarat perkawinan
c)      Pencegahan perkawinan
d)     Batalnya perkawinan
e)      Perjanjian perkawinan
f)       Hak dan kewajiban suami-istri
g)      Putusnya perkawinan serta akibatnya
h)      Kedudukan anak
i)        Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
j)        Perwalian
k)      Pembuktian asal usul anak
l)        Perkawinan di luar Indonesia
m)    Perkawinan Campuran
2)   Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perkawinan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan pada buku I, dimana  dalam  pelaksanaannya dikeluarkan Instruksi Presiden RI (Inpres RI) nomor 1 tahun 1991 yang  berisi tentang  perintah Presiden kepada Menteri Agama untuk menyebar luaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada masyarakat Indonesia.
Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) Buku I, menjelaskan pokok-pokok tentang :
a)      Dasar-dasar perkawinan
b)      Peminangan
c)      Rukun dan syarat  perkawinan
d)     Mahar
e)      Larangan kawin
f)       Perjanjian perkawinan
g)      Perkawinan dengan wanita hamil
h)      Beristri lebih dari satu
i)        Pencegahan perkawinan
j)        Batalnya perkawinan
k)      Hak dan kewajiban suami istri
l)        Harta kekayaan dalam perkawinan
m)    Pemeliharaan anak
n)      Perwalian
o)      Putusnya perkawinan
p)      Akibat putusnya perkawinan
q)      Rujuk
r)       Masa berkabung
B.     Prosedur Pencatatan Nikah dan Dasar Hukumnya
1.      Pengertian Pencatatan Nikah
Pada  dasarnya  syari’at  Islam  tidak  mewajibkan  adanya  pencatatan  terhadap setiap  terjadinya  akad  pernikahan,  namun  dilihat  dari  segi  manfaatnya  pencatatan nikah amat sangat diperlukan, karena pencatatan nikah dapat dijadikan sebagai alat bukti  yang  otentik  agar  seseorang  mendapatkan  kepastian  hukum.  Hal  ini  sejalan dengan  ajaran  islam  sebagaiman  firman  Allah  yang  termaktub  dalam  surah  al- Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ
Artinya :
“Hai  orang-orang  yang  beriman,  apabila  kamu  bermu'amalah  (seperti  berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah/02:282)
Ayat  tersebut  menjelaskan  tentang  perintah  pencatatan  secara  tertulis  dalam segala  bentuk  urusan  mu’amalah,  seperti  perdagangan,  hutang  piutang  dan sebagainya. Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa, alat bukti tertulis itu statusnya lebih adil  dan  benar  disisi  Allah  dapat  menguatkan  persaksiaan,  sekaligus  dapat menghindarkan kita dari keraguan. Setelah mendapatkan sumber nash yang menjadi dasar  rujukan  untuk  memahami  hukum  pencatatan  nikah,  kemudian  mencari  illat  yang  sama-sama  terkandung  dalam  akad  nikah  dan  akad  mu’amalah,  yaitu  adanya penyalah gunaan atau mudharat apabila tidak ada alat  bukti tertulis yang menunjukan sahnya akad tersebut. Jadi, qiyas akad nikah dan akad mu’amalah dapat  dilakukan.
Untuk itu kita dapat mengatakan bahwa pencatatan akad nikah hukumnya wajib, sebagaimana  juga  diwajibkan  dalam  akad  mu’amalah.  Alat  bukti  tertulis  dapat dipergunakan  untuk  hal-hal  yang  berkenaan  dengan  kelanjutan  akad  pernikahan.
Adanya  alat  bukti  ini,  pasangan  pengantin  dapat  terhindar  dari  mudharat dikemudian hari karena alat bukti tertulis ini dapat memproses secara hukum berbagai persoalan  rumah tangga, terutama sebagai  alat bukti paling sahih dalam  pengadilan agama.
Sangat  pentingnya  pencatatan perkawinan pada masyarakat maka pemerintah Indonesia mengaturnya  melalui  perundang-undangan,  baik  Undang-undang  Republik Indonesia Nomor 1  Tahun 1974 tentang  Perkawinan  maupun  melalui  Kompilasi  Hukum  Islam.  Pencatatan perkawinan  bertujuan  untuk  mewujudkan  ketertiban  perkawinan  dalam  masyarakat, baik  perkawinan  yang  dilaksanakan  berdasarkan  hukum  Islam  maupun  perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam.
Pencatatan perkawinan  merupakan  upaya  untuk  menjaga kesucian dari akad nikah seorang laki-laki dan perempuan . Realisasi pencatatan itu, melahirkan Akta Nikah  yang  masing-masing  dimiliki  oleh  suami  dan  istri  salinannya.  Akta  tersebut, dapat  digunakan  oleh  masing-masing  pihak  bila  ada  yang  merasa  dirugikan  dari adanya ikatan perkawinan itu untuk mendapatkan haknya.
Sejalan  dengan  perkembangan  zaman dan modernisasi maka perjanjian yang dulunya cukup dengan lisan saja kini harus dituangkan dalam bentuk tulisan agar berkekuatan hukum tetap, hal itu akan sangat membantu apabila dikemudian hari terjadi permasalahan maka tulisan itu akan dapat dijadikan bukti autentik, disisi lain saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan karena bisa hilang  dengan  sebab  kematian,  manusia  juga  dapat  mengalami  kelupaan  dan kesalahan.  Atas  dasar  ini  diperlukan  sebuah  bukti  yang  abadi  itulah  yang  disebut dengan akta.
Pencatatan  perkawinan  adalah  suatu  yang  dilakukan  oleh  pejabat  Negara terhadap  peristiwa  perkawinan.  Dalam  hal  ini  pegawai  pencatat  nikah  yang melangsungkan  pencatatan,  ketika  akan  melangsungkan  suatu  akad  perkawinan antara calon suami dan calon istri.
Pencatatan  adalah  suatu  administrasi  Negara  dalam  rangka  menciptakan ketertiban  dan  kesejahteraan  warga  negaranya.  Mencatat  artinya  memasukan perkawinan  itu  dalam  buku  akta  nikah dan dikeluarkan kutipannya untuk  masing-masing  suami  istri.  Kutipan akta  nikah  itu  sebagai  bukti  otentik  yang  dilakukan  oleh  Pegawai  Pencatat  Nikah, Talak,  dan  Rujuk.  Juga  oleh  pegawai  perkawinan  pada  Kantor  Catatan  Sipil
2.      Tujuan Pencatatan Nikah
Pernikahan  sebaiknya  diproyeksikan  untuk  mencegah  mudharat  yang  akan terjadi bila pembinaan rumah tangga tidak dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Pencatatan nikah bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat.  Ini  merupakan  suatu  upaya  yang  diatur  melalui  perundang-undangan  untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan khususnya bagi perempuan dalam kehidupan  rumah  tangga.  Melalui  pencatatan  nikah  yang  dibuktikan  oleh  akta, apabila  terjadi  perselisihan  di  antara  suami  istri  maka  salah  satu  diantaranya  dapat melakukan  upaya  hukum  guna  mempertahankan  atau  memperoleh  hak  masing- masing.  Karena  dengan  akta  tersebut,  suami  istri  memiliki  bukti  autentik  atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Pencatatan  nikah  juga  berfungsi  sebagai  “pengatur”  lalu  lintas  praktik poligami  yang  sering  dilakukan  secara  diam-diam  oleh  pihak-pihak  tertentu  yang hanya menjadikan nikah di bawah tangan tanpa pencatatan sebagai alat poligami atau berpoliandri. Setiap pasangan  yang  akan menikah di KUA (Kantor Urusan Agama) atau  KCS  (Kantor  Catatan  Sipil)  biasanya  melalui  mekanisme  pengumuman  status calon mempelai setelah terdaftar sebagai pasangan yang hendak menikah. Ketika data tentang  status  masing-masing  calon  mempelai  diumumkan  dan  ternyata  ada  yang keberatan, perkawinan bisa saja batal.
Lembaga  pencatatan  nikah  merupakan  syarat  administratif,  selain substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum, ia mempunyai cakupan manfaat  yang  sangat  besar  bagi  kepentingan  dan  kelangsungan  suatu  perkawinan. Menurut  Ahmad  Rofiq,  ada  dua  manfaat  dari  pencatatan  nikah,  yaitu  pertama, manfaat preventif yaitu untuk menanggulangi agar tidak terjadi penyimpangan rukun- rukun dan syarat-syarat perkawinan, baik menurut hukum agama dan kepercayaannya maupun  menurut  perundang-undangan. Kedua,  manfaat  represif.  Hal  ini dimaksudkan  untuk  membantu  masyarakat,  agar  di  dalam  melangsungkan perkawinan  tidak  hanya  mementingkan  aspek-aspek  hukum  fiqih  saja  tetapi  juga aspek-aspek  keperdataannya.  Jadi,  pencatatan  adalah  merupakan  usaha  pemerintah untuk  mengayomi  masyarakat  demi  terwujudnya  ketertiban  dan  keadilan  dalam masalah perkawinan.
Adanya pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum Negara menjadi sah. Dan ini, penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak. Karena dampak dari ketidak dicatatkannya perkawinan adalah:
a.    Terhadap istri
Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun social. Secara hukum, istri tidak dianggap sebagai istri yang sah, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal  dunia,  istri  tidak  berhak  atas  harta  gono-gini  jika  terjadi  perpisahan, karena  secara  hukum  perkawinan  istri  dianggap  tidak  pernah  terjadi.  Secara social,  istri  akan  sulit  bersosialisasi  karena  perempuan  yang  melakukan perkawinan  bawah  tanggan  sering  dianggap  telah  tinggal  serumah  dengan  laki- laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau istri dianggap menjadi istri simpanan.
b.    Terhadap anak
Untuk anak, sahnya pernikahan dibawah tangan menurut hukum Negara memiliki dampak  negatif  bagi  status  anak  yang  dilahirkan  di  mata  hukum.  Status  anak yang  di  lahirkan  dianggap  sebagai  anak  tidak  sah.  Dengan  kata  lain  sang  anak tidak  mempunyai  hubungan  hukum  terhadap  ayahnya.  Dalam  akta  kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah. Akibatnya, hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan status sebagai anak di luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial.
3.      Biaya Pencatatan Nikah
Biaya pencatatan nikah adalah tarif yang ditetapkan oleh negara pada setiap peristiwa nikah yang dijadikan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sejak Indonesia merdeka, negara telah  mengatur dan menetapkan biaya pencatatan nikah dengan peraturan yang jelas, hal ini dapat kita lihat pada Undang-undang RI nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,Talak  dan Rujuk pada pasal 1 ayat (4) yang berbunyi :
Seorang yang nikah,menjatuhkan talak dan rujuk.diwajibkan membayar biaya pencatatan yang banyaknya ditetapkan Menteri Agama. Dari mereka yang dapat menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desanya (kelurahannya) tidak dipungut biaya. Surat keterangan ini diberikan dengan percuma. Biaya nikah,talak dan rujuk dimasukkan di dalam Kas negeri menurut aturan yangditetapkan oleh Menteri Agama”[32].
Pencatatan Nikah yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan merupakan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kepentingan masyarakat, maka sesuai dengan ketentuan Undang-undang RI Nomor 20 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada pasal 2 ayat (3) poin d, dikatakan bahwa kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) meliputi salah satunya adalah penerimaan dari pelayanan yang dilaksanakan pemerintah .
Dari undang-undang diatas dipertegas kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI nomor 47 tahun 2004 tentang Tarif Atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Departemen Agama dimana didalamnya mengatur tentang besarnya tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Perguruan Tinggi Agama yang meliputi biaya seleksi masuk,SPP dan biaya pratikum serta mengatur pula tentang biaya pencatatan nikah dan rujuk di KUA  Kecamatan. Dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini dikatakan bahwa penerimaan dari Kantor Urusan Agam Kecamatan yang berkaitan dengan biaya pencatatan nikah dan rujuk ditetapkan sebesar Rp. 30 000,- per peristiwa nikah . Sejak saat itu biaya pencatatan nikah di KUA kecamatan dikenai biaya sebesar Rp. 30 000,- per peristiwa nikah .
Dalam praktiknya tarif biaya pencatatan nikah yang telah ditetapkan oleh peraturan pemerintah itu diatur lebih jelas lagi di dalam Peraturan Menteri Agama nomor 43 tahun 2006 tentang Pengelolaan Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk dan ditinjau kembali ke dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 71 tahun 2009 tentang Pengelolaan Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk, dimana dalam PMA ini  dijelaskan mengenai ketentuan  penerimaan dan penyetoran biaya pencatatan nikah dari Calon Pengantin (Catin) kepada bendahara  pembantu  pada KUA Kecamatan, penyetoran biaya pencatatan nikah dari bendahara pembantu pada KUA ke kas Negara, mengatur tentang administrasi keuangannya serta mengatur penggunaan dana tersebut .
C.    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014
1.    Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah .No 47 Tahun 2004  tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada Departemen Agama, mengatur tentang biaya pencatatan nikah yang merupakan pengaturan kembali dari isi Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun  2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku  Pada Departemen Agama.
Peraturan Pemerintah ini sangat singkat karena hanya berisi dua  pasal saja, pasal pertama berisi tentang perubahan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 47  tahun 2004. Perubahan itu diantaranya adalah :
a.    Pada pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2014 yang berbunyi :
1)   Kepada warga negara yang tidak mampu dapat dibebaskan dari kewajiban pembayaran tarif Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk. 
2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria warga negara yang tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Agama setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Ketentuan  itu selanjutnya diubah pada pasal I Peraturan Pemerintah No.48 tahun 2014 menjadi berbunyi :
1)   Setiap  warga  negara  yang  melaksanakan  nikah  atau rujuk di Kantor Urusan Agama kecamatan atau di luar  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  tidak  dikenakan  biaya pencatatan nikah atau rujuk. 
2)   Dalam  hal  nikah  atau  rujuk  dilaksanakan  di  luar  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  dikenakan  biaya  transportasi  dan  jasa  profesi  sebagai  penerimaan  dari  Kantor Urusan Agama Kecamatan. 
3)   Terhadap  warga  negara  yang  tidak  mampu  secara  ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan  nikah  atau  rujuk  di  luar  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat  dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah). 
4)   Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  syarat  dan  tata  cara  untuk dapat dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) kepada  warga  negara  yang  tidak  mampu  secara  ekonomi  dan/atau  korban  bencana  yang  melaksanakan  nikah  atau  rujuk  di  luar  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  diatur  dengan  Peraturan Menteri Agama setelah berkoordinasi dengan  Menteri Keuangan. 

b.    Ketentuan pada lampiran II Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2004 yang berbunyi :
II. PENERIMAAN DARI KANTOR URUSAN
     AGAMA KECAMATAAN
     Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk Per peristiwa 30.000,00

Ketentuan itu kemudian  diubah dalam Pasal I ayat (2) pada Peraturan Pemerintah  Nomor 48 tahun 2014 yang berbunyi :

2.  Ketentuan dalam Lampiran angka II mengenai Penerimaan   
    dari Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  diubah  sehingga 
    berbunyi sebagai berikut: 
JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
SATUAN
TARIF  (Rp)
II.   PENERIMAAN DARI 
      KANTOR URUSAN   
      AGAMA KECAMATAN
per peristiwa  nikah atau rujuk
600.000,00 


Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 ini merupakan pemenuhan ketentuan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak,  yang berlaku kusus pada Kementerian Agama .
2.    Latar Belakang lahirnya Peraturan Pemerintah Republik  Indonesia Nomor 48 Tahun 2014
Yang melatar belakangi lahirnya Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2014 ini diantaranya adalah :
a.    Adanya temuan Irjend Kementerian Agama bahwa biaya pencatatan nikah sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 47 tahun 2004 sebesar Rp. 30 000,00  tiap peristiwa, pada kenyataannya banyak terjadi penyimpangan, artinya KUA  Kecamatan seluruh Indoneesia menerima biaya pencatatan nikah melebihi ketentuan tersebut, bahkan M. Yasin Irjend Kementerian Agama RI menyatakan tentang indikasi adanya praktik pungutan liar (pungli) atau gratifikasi biaya nikah yang dilakukan penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA). Pernyataan itu dikarenakan biaya resmi pencatatan nikah hanya tiga puluh ribu akan tetapi pada praktiknya dipungut hingga tiga ratus sampai mencapai lima ratus ribu rupiah bahkan mungkin ada yang lebih. Jika dikomulatifkan, menurut Yasin dalam pernyataannya ada triliunan dana yang dipungli penghulu di Kantor Urusan Agama jika diasumsikan ada dua juta peristiwa nikah yang dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA)[33].
b.    Dalam Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004 tidak diatur tentang transportasi dan tunjangan jasa profesi dari PPN yang melaksanakan pencatatan nikah diluar kantor maupun di luar jam kerja sehingga dalam proses pencatatan nikah yang dimulai dari pendaftaran nikah,pemerksaan hingga pencatatan nikah memicu adanya tambahan biaya yang diberikan oleh calon pengantin kepada PPN, tambahan biaya itulah belakangan merupakan gratifikasi yang dapat dijerat oleh hukum .
Melihat kenyataan itu, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 agar hal – hal diatas itu tidak terjadi lagi dikemudian hari, juga PPN dapat melaksanakan pencatan nikah dengan baik , semangat dan penuh tanggung jawab.

3.    Tujuan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014
Adapun tujuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 ini diantaranya adalah :
a.    Untuk  peningkatan  pelayanan  pencatatan  nikah  atau  rujuk  oleh KUA Kecamatan sehingga  dapat menciptakan pelayanan prima baik dikantor maupun pelayanan pencatatan nikah diluar kantor .
b.    Untuk  melakukan  penyesuaian  jenis  dan  tarif  atas  jenis  Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak (PNBP) sebagaimana  diatur  dalam  Peraturan  Pemerintah  Nomor  47  Tahun 2004 yang  berlaku  pada  Kementerian Agama. 
c.    Upaya mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan  Pajak (PNBP) guna menunjang pembangunan nasional, sebagai salah satu sumber  penerimaan  negara  yang  perlu  dikelola  dan  dimanfaatkan  untuk  peningkatan pelayanan kepada masyarakat. 
d.   Untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),  yang menyangkut  jenis  dan  tarif  atas  jenis  Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Agama .



[21]   Sulaiman Rasjid,2013,Fiqh Islam,Bandung,Sinar Baru Algensindo,hal 374
[22]   Dirjend Bimas islam dan Penyelenggara Haji,Departemen Agama R.I,th. 2005, Pedoman    
      penghulu, Jakarta, hal.60
[23]  Ali Sunarso,Mochlasin,2005,Islam Doktrin dan Konteks Studi Islam Komprehensif,Pilar
      Media,Yugyakarta, hal 181
[24]   Sanusi Nur Tufiq, 2010,Fikih Rumah Tangga,Depok, Elsas, hal. 32
[25]   Imam Zakiyudin,Skripsi,2014, Faktor Penyebab Biaya Administrasi Pencatatan      
     Pernikahan  Menjadi Tinggi (Studi Pada Kantor Urusan Agama Kec. Bumijawa Kab.     
     Tegal Tahun 2009-2013) , Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,  
     hal,35-38
[26]  Dirjend Bimas Islam Departemen Agama RI,2007,Modul Pelatihan Motivator Keluarga
     Sakinah,Jakarta hal.103
[27]   Ibid, hal. 104
[28]   Ahmad Tugbagus Surur,2011,Fiqih Munakahat,Pekalongan,hal 14
[29]   Dirjend Bimas Islam,Kementerian Agama RI, 2010, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Jakarta hal
     99
[30]    Achmd Tubagus Surur,2011,Fiqih Munakahat, Stain Press,Pekalongan hal. 14        
[31]    Al Hafidh  Ibnu Hajar Al Asqalani,1995,Terjemah Bulughul Maram,Mutiara Ilmu,Jakarta,Hal  
       414
[32]  Kanwil Kementerian Agama Prov.Jawa Tengah,2013,Himpunan Aturan  
     Kepenghuluan,Semarang,hal 7
[33]  Sopian Hadi, 2013, Artikel, Solusi HindariGratifikasi Biaya Nikah,Penamas dan Pekapontren Kemenag
      Rokan Hulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB III KONDISI UMUM

BAB III KONDISI UMUM KUA KECAMATAN WARUNGASEM KABUPATEN BATANG A.     Kondisi Objektif KUA Kecamatan Warungasem KUA K ec. War...