I.
PENDAHULUAN
Inkar Sunnah merupakan suatu paham
menolak Hadis Nabi saw. yang lahir sejak masa awal Islam, terutama di zaman
Imam asy-Syufii dan mengalir timbul tenggelam dalam sejarah sampai masa
sekarang. Paham ini bertentangan dengan perintah Alquran untuk mengikuti dan
menauladani Nabi dalam melaksanakan ajaran Alquran. Karena menolak Sunnah,
sedang keterangan Al-quran bersifat umum dan tidak terperinci, maka penganut
Inkar Sunnah menafsirkan Alquran se-kehendak hatinya, baik dalam menguatkan
pahamnya maupun dalam pelaksanaan ibadah dan a-mal Islam. Sebagian mereka salat
dua tiga kali sehari semalam dan sebagian yang lain lima kali. Rakaatnya pun
masing-masing dua rakaat. Salat bentuk lain pun boleh juga. Argumen mereka tidak
benar dan berdasarkan nas-nas Alquran dan Hadis, paham Inkar Sunnah adalah sesat dan ke luar
dari Islam.
II.
PENGERTIAN
PAHAM INGKAR SUNAH
Ingkar
Sunnah berarti mengingkari sunnah nabi, dimaksudkan untuk menunjuk paham yang
timbul dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak hadits atau sunnah
sebagai sumber ajaran Islam kedua. Orang-orang yang menolak keberadaan sunnah
dan mengingkari kedudukan dan posisinya sebagai sumber ajaran yang wajib
diikuti setelah al-Qur’an, merekalah yang dikatakan sebagai penganut paham
Inkar Sunnah atau dalam istilah yang kurang populer disebut juga sebagai munkir
al-sunnah.
Dikatakan
sebagai kelompok Inkar Sunnah dan tidak disebut dengan Inkar Al-Hadits, karena
penyebutan dengan kata sunnah lebih tajam dari pada kata hadits. Mengingkari
sunnah tidak hanya berarti mengingkari perkataan dan perbuatan nabi, tetapi
lebih dari itu juga mengingkari tradisinya yang ditransmisikan dan dijaga
secara kolektif oleh komunitas muslim secara turun-temurun dan generasi ke
generasi berikutnya.
Secara
garis besar, paham ini dibedakan menjadi tiga kelompok , yaitu :
1. Kelompok
yang menolak sunnah, secara baik yang bernilai sahih, hasan maupun
da’if sekalipun.
2. Kelompok
yang menolak sebagian hadits atau sunnah, yaitu hadits yang tidak sesuai dengan
al-Qur’an secara tekstual.
Kelompok
ini menganggap hadits atau sunnah tidak memiliki kompetensi dalam menciptakan
hukum yang baru.
3. Kelompok
yang menolak sunnah yang tidak bernilai mutawatir.
III.
SEJARAH
LAHIRNYA PAHAM INGKAR SUNAH
Kajian tentang Ingkar Sunnah secara
historis selalu merujuk kitab al-Umm karya Imam Syafii (w. 150 H). Di zaman
modern, terkenal tokoh Inkar Sunnah di berbagai daerah, seperti Taufiq Shidqi
di Mesir, Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di
Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji Abdurrahman, Ustaz H. Sanwani, dan
Ir. Irham Sutarto di Jakarta, Dailami Lubis di Sumatera Barat, dan untuk Medan
juga sudah ada, baik yang terus terang menolaknya maupun yang menolaknya secara
ilmiah.
Kelompok
Inkar Sunnah berdasarkan urutan waktunya terbagi dua, yaitu,
1.
Inkar
Sunnah Klasik
Kelompok
ini muncul pada abad pertama dan berkembang pada abad kedua hijriyah dan lenyap
dari peredaran pada abad ketiga hijriyah.
Pada
awalnya, kelompok inkar sunnah ini merupakan sikapsikap individual dan timbul
karena ketidak tahuan tentang kedudukan sunnah itu sendiri.
Pada
perkembangan selanjutnya, yakni abad kedua, beberapa aliran teologi Islam
seperti Khawarij, Syi'ah dan Mu'tajilah dipandang sebagai inkar Sunnah klasik,
meski hal ini perlu penelitian lebih lanjut.
Inkar
Sunnah klasik telah dilumpuhkan oleh al-Syafi'i melalui perdebatan panjang
sebagaimana yang termuat dalam kitab al-Umm.
2.
Inkar
Sunnah Modern.
Kelompok ini pertama kali lahir di Mesir dengan
tokohnya Syeikh Muhammad Abduh yang kemudian diikuti muridnya yaitu Sayyid
Rasyid Ridla meskipun pada akhir hayatnya beliau menjadi pembela sunnah. Disamping
kedua tokoh tadi, tercatat pula Abu Rayyah, Ahmad Amin, Ismai; Adham dan Taufiq
Sidqy. Inkar Sunnah modern sebenarnya hanya mengingkari hadits-hadits ahad.
(Mushtafa Ya'kub, Kritik Hadits,. h. 39-59) dan yang menolak seluruh
hadits meskipun bersifat mutawatir, hanyalah madzhab Qur'ani yang dipelopori
oleh Ghulam Ahmad Parwez. Sedangkan pembela sunnah modern yang banyak
mementahkan argumen-argumen pendukung
Inkar Sunnah adalah Muhammad Musthafa Azhami dan Musthafa al-Siba'i (Muh. Zuhri)
Menurut
Prof.Dr.M.Musthafa Al-Azhami sejarah ingkar sunnah klasik terjadi pada masa
Asy-Syafi’I abad ke-2 H/7M. kemudian hilang dari peredarannya selama kurang
lebih 11 abad. Kemudian pada abad modern ingkar sunnah timbul lagi di India dan
Mesir dari abad 19M/13H sampai pada masa sekarang. Sedang pada masa pertengahan
ingkar sunnah tidak muncul kembali, kecuali Barat mulai meluaskan
kolonialismenya ke Negara-negara islam dengan menaburkan fitnah dan
menorang-coreng citra agama islam.
Paham
ingkar sunnah klasik terjadi pada masa imam Sya-Syafi’i yang menolak kehujahan sunnah
dan menolak sunnah sebagai sumber hukum islam baik mutawatir atau
ahad. Imam Sya-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir As-Sunnah (pembela
sunnah) pernah didatangi oleh seseorang yang disebut sebagai ahli tentang
mazhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah. Ia datang untuk berdiskusi
dan berdebat dengan Sya-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai
argumentasi yang diajukan. Namun, semua argumentasi yang dikemukakan orang
tersebut dapat ditangkis oleh Sya-Syafi’I dengan jawaban yang argumentative,
ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.
Menurut penelitian Muhammad Al-Khudhari Beik bahwa seorang yang mengajak
berdebat dengan Sya-Syafi’I tersebut dari kelompok Mu’tazilah, karena
dinyatakan oleh Sya-Syafi’I bahwa ia datang dari Bashrah. Sementara Bashrah
pada saat itu menjadi basis pusat teologi Mu’tazilah dan munculnya para tokoh
Mu’tazilah yang dikenal sebagai oposisi Ahlu hadist. Sedang menurut keterangan
Muhammad Abu Zahrah, Abudurrahman bin Mahdi (salah seorang pembela Sya-Syafi’I
dan hidup semasanya) orang tersebut dari kalangan ekstrimis kaum khawarij dan
Zindiq dengan alasan sebagian golongan Khawarij tidak mengakui hukum rajam bagi
pezina muhshan (telah nikah) karena tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Komentar As-Siba’I, pendapat Al-Khudari Beik yang lebih kuat, karena dilihat
dari segi argumentasinya sama dengan yang diajukan oleh An-Nazhzham yang
mengingkari kepastian sunnah mutawatirah seperti bilangan rakaat shalat yang
disepakati oleh para ulama. Pendapat ini menurutnya juga didukung oleh Ibn
Qutaibah dalam bukunya Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits yang menyebut
kedudukan tokoh-tokoh Mu’tazilah terhadap sunnah. Muhammad abu Zahrah juga
membenarkan bahwa pengingkar sunnah tersebut dari kelompok Mu’tazilah. Namun,
bisa jadi esensi mereka adalah dari kelompok Zindiq dan ekstrimis Khawariz
(sebagaimana kata Abdurrahman bin Mahdi) yang berkedok Mu’tazilah untuk
mencapai ttujuan tertentu.
Analisis oposisi Sya-Syafi’I di atas yang dinilai dari sekte Mu’tazilah, tidak
pasti kebenarannya karena penolakan sunnah secara keseluruhan bukan pendapat
Mu’tazilah bahkan bukan pendapat umat islam, bisa jadi sama dengan pendapat
An-Nazhzham secara perorangan dari sekte Mu’tazilah. Akan tetapi baju
Mu’tazilah dari kelompok kaum Zindiq atau ekstrimis Khawarij Al-Azariqah, karena
merekalah yang menolak sunnah secara keseluruhan.
Demikian oposisi Sya-Syafi’i yang secara rinci dan argumentasi berdebat dengan
Sya-Syafi’i. Namun, segala argumentasinya dapat dipatahkan oleh Sya-Syafi’i.
Akhirnya ia bertekuk lutut dan mengakui kehujahan sunnah. Penolakan sunnah bagi
oposisi ini juga merupakan pendapat perorangan bukan pendapat kolektif,
sekalipun ia mengaku dari sekte tertentu.
IV.
AJARAN POKOK PAHAM INGKAR SUNNAH
1. Dasar ajaran Islam hanyalah Alquran
karena Alquran sudah lengkap dan sempurna.
2. Tidak percaya dan menolak seluruh
Hadis Nabi saw.
3. Nabi Muhammad tidak berhak untuk
memberikan penjelasan apa pun tentang Alquran
4. Syahadat mereka adalah Isyhadu bi
annana muslimun (saksikan kamulah bahwa kami orang-orang Islam)
5. Rakaat dan cara salat terserah
kepada masing-masing, boleh dua rakaat dan boleh dengan eling (ingat) saja
6. Puasa wajib bagi yang melihat bulan
saja, tidak wajib bagi orang yang tidak melihatnya dengan alasan ayat “ faman
syahida minkumusy syahra falyashumhu “ (Barang siapa yang melihat bulan di
antara kamu maka hendaklah ia puasa)
7. Haji boleh dilakukan selama
bulan-bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Sya`ban, dan Zulhijjah
8. Pakaian ihram boleh dengan celana,
baju, jas, dan dasi.
9. Orang yang meninggal tidak disalatkan
karena tidak ada perintah dalam Alquran.
10. Pengajian-pengajian Inkar Sunnah di
Jakarta membuat semua salat dua-dua rakaat tanpa azan dan iqamah.
V.
ALASAN PENGINGKAR SUNNAH
Alasan yang dijadikan pedoman ingkar
sunnah diantaranya adalah :
1. Al-Qur’an turun sebagai penerang
atas segala sesuatu secara sempurna, bukan yang diterangkan. Al-Qur’an tidak
perlu keterangan dari sunnah, bila Al-Qur’an perlu keterangan berarti tidak
sempurna. Sebagaikama Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-An’am:38 yang berbunyi
:
مَافَرَّطنَا
فِى الْكِتَبِ مِنْ شَيْ ءٍ ثُمَّ اِلَى رَبِهِمْ يُحْشَرُوْنَ
Artinya : Tidak ada sesuatu yang
kami tinggalkan dalam al-kitab (QS.Al-An’Am:38)
Argumentasi ini mendapat tanggapan
dari beberapa sunnah Al-Azhar, diantaranya prof. Dr. Abdul Ghani Abdul Khaliq
yang menandaskan bahwa ayat yang dijadikan pedoman para ingkar sunnah sebagai
hujah tidak benar karena maksud Al-Kitab dalam surah Al-An’am (6): 37 adalah
“Lawh Al-Mahfudz” yang mengandung bahwa Al-Qur’an menjelaskan segala
sesuatu yang berkaitan dengan pokok-pokok agama dan hukum-hukumnya. Penjelasan
Al-Qur’an secara mujmal (globalitas) dan yang pokok-pokok saja.
Masalah-masalah cabang (furu’iyah) dijelaskan oleh sunnah.
2. Penulisan sunnah dilarang, seandainya sunnah dijadikan
dasar hukum Islam pasti Nabi tidak melarang.
Memang
penulisan sunnah pada masa Nabi dilarang untuk umum, tapi bagi orang-orang
khusus ada yang diperbolehkan atau dalam istilah lain catatan hadist untuk umum
terlarang, tetapi untuk catatan pribadi banyak sekali yang diizinkan Nabi
seperti catatan Abdullah bin Amr bin Al-Ash yang diberi nama Ash-Shahifah
Ash-Shadiqoh, Abu Syah seorang sahabat dari yaman dimana sahabat lain diizinkan
Nabi untuk menuliskannya, dan lain-lain.
Larangan
penulisan pada masa Nabi cukup beralasan sebagai alasan religius dan sosial,
antara lain sebagai berikut:
a. Penulisan hadist dikhawatirkan
campur dengan penulisan Al-Qur’an, karena kondisi yang belum memungkinkan dan
kepandaian tulis menulis serta sarana prasarana yang belum memadai.
b. Umat islam pada awal perkembangan Islam
bersifat ummi (tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis) kecuali hanya
beberapa orang sahabat saja yang dapat dihitung dengan jari, itu pun
diperuntukan penulisan Al-Qur’an.
c. Kondisi perkembangan teknologi yang
sangat masih primitive, Al-Qur’an saja masih ditulis di atas pelepah kurma,
kulit, tulang binatang, batu-batuan, dan lain sebagainya. Pada waktu itu belum
ada kertas, pulpen, tinta, spidol, dan apalagi foto kopi, jadi tidak bisa
dianalogikan dengan zaman modern sekarang.
d. Sekalipun orang-orang arab mayoritas
ummi, namun mereka kuat-kuat, sehingga Nabi cukup mengandalakan dengan
hapalan mereka dalam mengingat hadist.
3. Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti
absolute kebenarannya), sedang sunnah bersifat zhanni (bersifat relative
kebenarannya), maka jika terjadi kontradisi antar keduanya, sunnah tidak dapat
berdiri sendiri sebagai produk hukum baru. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
seluruh sunnah zhann dan zhann tidak dapat dijadikan hujah dalam
beragama.
Kata zhann di beberapa tempat
dalam Al-Qur’an tidak hanya mempunyai satu arti saja sebagaimana yang
dituduhkan oleh ingkar sunnah di atas, ia mempunyai makna banyak, diantaranya;
bermakna yakin (al-yaqin).
Arti zhann memang ada yang
tercela, tatapi ada pula yang terpuji dalam syara’, sebagaimana yang disebutkan
pada ayat-ayat Al-Qur’an di atas.
Zhann hadist ahad mempunyai makna “dugaan
kuat dan unggul” di antara dua sisi yang berlawanan yaitu antara dugaan lemah
dan dugaan yang kuat. Dugaan yang kuat inilah yang disebut zhann, oposisinya
dugaan lemah disebut waham, sedang dua dugaan yang seimbang tidak ada
yang kuat dan tidak ada yang lemah disebut syakk (keraguan).
Zhann seperti ini diterima oleh ulama
hadist yang mengantarkan validitas suatu berita, bahwa ia diduga kuat benar
dari Nabi, bahkan jika didapatkan qarinnah atau bukti yang kuat dapat
naik menjadi ilmu dan pasti.
Di kalangan ulama islam terjadi
kontra pada eksitensi kualitas hadist ahad, apakah ia dapat memberi
faedah zhann (dugaan kuat), atau ilmu. An-Nawawi berpendapat hadist ahad
berfaedah zhann, sedangkan menurut mayoritas ahli hadist berfaedah
ilmu dan menurut Ibnu Hazm ilmu dan amal.
Zhann disini diartikan “dugaan kuat”
posisinya dibawah sedikit dari ilmu, bahkan jika diperkuat dengan qarinah atau
bukti-bukti lain yang dipertanggungjawabkan dapat naik menjadi ilmu, Tidak
seperti zhann yang diduga oleh ingkar sunnah di atas yang hanya
diartikan syakk(ragu). Jika datang kepada kita seorang periwayat yang
terpercaya dengan sanad yang lengkap, bahwa hadist ini diriwayatkan oleh malik
dalam kitabnya Al-Muwaththa dari Al-Zanad dari Al-A’raj, dari Abu
Hurairah dari Rasul SAW berkata demikian:
Kita mengetahui, bahwa setiap
periwayat tersebut ahlu diriyah dan riwayah serta tsiqah
(dapat dipercaya kejujurannya dan daya ingatnya) tentu kita yakin pada berita
yang dibawanya.
4. Hanya
al-Qur’an yang memilki otoitas dan legitimasi menjadi sumber hukum Islam. Untuk
itu Allah telah menjamin kelestarian, keutuhan dan keorisinilannya sampai hari
Kiamat. Sesuai dengan Firman Allah SWT;
Argumentasi ini dipegang Rasyid Rida dan
Taufiq Sidqi, Abu Rayyah dan para pengingkar sunnah dari Pakistan. Sedangkan
kelompok lain berpendapat, hadits tidak dapat dikategorikan sebagai wahyu,
karena bisa dikatakan wahyu tentu akan ada jaminan atau garansi dari Allah SWT
untuk memelihara kelestarian dan keorisinalannya sampai hari Kiamat nanti.
Adapun dalil akal yang digunakan
oleh paham ini diantanya adalah :
1. Al-Qur’an
ditransformasikan Allah SWT dalam bahasa Arab, yang nota bene sebagai bahasa
sehari-hari komunitas masyarakat muslim dimana al-Qur’an itu diturunkan. Tentu
bagi orang mampu memahami bahasa Arab dari segi balaghah, uslub dan
tata bahasa secara baik dan benar, dalam memahami al-Qur’an tidak memerlukan
perantara termasuk dari hadits atau sunnah dalam menangkap pesan-pesan moral
al-Qur’an dengan pemaknaan yang benar dan lebih komprehensif.
2. Realitas
sejarah menunjukkan umat Islam telah terpolarisasi menjadi beberapa kelompok
karena perbedaan paham dalam memahami realitas agama yang menimbulkan
konsekuensi kemunduran Islam dalam peraturan dan persaingan internasional
sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan dalam penggunaan
hadits sebagai literatur mereka. Berdasarkan premi diatas dapat ditarik benang
merah bahwa hadits merupakan salah satu penyebab mundurnya umat Islam.
3. Modifikasi
kitab-kitab hadits bermuncul sekitar 40 sampai 50 tahun setelah Nabi wafat.
Sehingga sangat rentan akan terkontaminasi dengan pendapat rawinya, baik dalam
bentuk penambahan maupun pengurangan. Sehingga otentisitas dan validitasnya
tidak bias dibuktikan. Hal ini juga didukung realita dan fakta, sangat
tingginya persentase hadits dari segi teks (matan) yang termuat dalam al-kutub
al-sittah yang concent-nya sangat bertentangan dengan pesan-pesan
al-Qur’an dan logika formal.
4. Taufiq
Sidqi menambahkan, tidak satupun hadits yang dicatat pada masa Nabi. Dalam
rentang waktu tersebut hadits sangat rentan terhadap upaya memutarbalikkan
fakta, dengan cara mempermainkan dan merusak hadits sebagaimana yang telah
terjadi.
5. Signifikasi
metode analisis-korektif yang berwawasan obyektif terhadap hadits seperti
kritik sanad, masih belum representatif dan masih lemah dalam menentukan kesahihan
(realibility) sebuah hadits, karena dua alasan; pertama kritik sanad yang
terdapat dalam ‘ilmu al-jarh wa
al-ta’dil,20 baru muncul satu setengah abad setelah Nabi wafat. Sehingga mata
rantai pentransmisian pada masa sahabat Nabi tidak dapat ditemui dan diteliti
lagi. Kedua seluruh sahabat nabi sebagai perawi pada tingkatan pertama, dinilai
semua adil oleh para muhaddisin abad III H atau awal abad IV H, dengan konsep
ta’dil alsahabah, sehingga mereka dikategorikan sebagai orang yang ma'sum dari kesalahan
dan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits.
Inilah argumentasi-argumentasi dan dasar
statemen mereka sebagai, upaya justifikasi terhadap statemen yang digulirkannnya.
Terlepas dari benar dan salahnya kita dapat menjadikannya sebagai stimulus bagi
gerakan intelektual muslim, khususnya bagi kalangan muhaddisin dalam mencari
formulasi dan argumentasi yang independen dengan berwawasan obyektif yang jauh
dari kesan apologis, apalagi sikap apriori, tetapi dengan berlandaskan logika
formal merupakan solusi yang realistis.
VI.
PANDANGAN PARA PEMBELA
SUNNAH
Seluruh
argumentasi yang diajukan dan menjadi dasar dari berbagai statemen yang
dikedepankan oleh kelompok Inkar Al-Sunnah dinilai lemah oleh mayoritas muslim.
Untuk para intelektual dari kalangan muhaddisin melakukan counter attact
terhadap statemen dan argumentasi yang mereka ajukan tersebut.
Bantahan
terhadap argumentasi yang didasarkan pada dalil-dalil naqli adalah;
1. Pandangan
yang mengatakan sunnah Nabi zann, sedangkan kita dituntut untuk menggunakan
yang yakin saja yaitu al-Qur’an. Padahal ayat al- Qur’an jika dilihat dari
perspektif asbab al-nuzul-nya memang diakui qat’i datang dari Allah SWT,
namun jika dilihat dari perspektif dalalahnya masih sangat banyak yang bernilai
zanniyat al-dalalah dengan pengertian yang zann juga dan belum
memberikan kepastian hukum.
2. Hadits-hadits
yang berstatus ahad memang bersifat zann, namun disisi lain juga didapati
ayat-ayat yang dalam pengertiannya juga mengandung makna zann. Sehingga jika
ditilik dari perspektif pengertian dan makna, antara sebagian ayat al-Qur’an
dengan hadits ahad tidak ada perbedaan yang signifikan.
3. Ayat-ayat
al-Qur’an dalam menjelaskan hukum dan kewajiban tertentu sebagian masih
bersifat general, yang menghendaki penjelasan (bayan), salah satunya
dengan menggunakan sunnah Nabi.
4. Kelompok
Inkar al-Sunnah trekesan sepotong-potong dalam mengambil ayat al-Qur’an,
sehingga sangat terlihat kekurangan waktu untuk menelaah ayat-ayat tersebut.
Misalnya mereka hanya berdalil dengan surat An-Nahl ayat: 89, Padahal dalam
konteks yang lain Allah juga berfirman dalam surat An-Nahl ayat: 44, tapi tidak
mereka jadikan hujjah.
5. Surat
Al-An’am ayat 38, dalam pemahaman para ulama sangat berbeda dengan pemahaman
kelompok Inkar al-Sunnah. Menurut para ulama, arti kata al-kitab dalam ayat
tersebut adalah “segala sesuatu tidak ada yang dialfakan Allah SWT, semuanya
telah termuat di lauh al-mahfuz”
Inilah
pandangan sekaligus jawaban para pembela sunnah dalam membantah argumentasi
yang diajukan dalam bentuk dalil naqli.
Adapun pandangan terhadap
argumentasi yang berdasarkan logika adalah;
1. Orang
yang memahami bahasa Arab secara baik dari segi tata bahasa demikian juga
uslubnya yang dapat dikatakan sebagai pakar bahasa sekalipun tidak akan mampu
memahami al-Qur’an secara keseluruhan. Karena kata-katanya masih banyak yang
bervariasi, ada yang global ada pula yang masih mubham dan lain sebagainya ang
dalam pemaknaan sangat membutuhkan intrvensi dari sunnah Nabi.
2. Realitas
sejarah kemunduran umat Islam memang suatu kenyataan dan perpecahan menjadi
salah satu penyebabnya, namun tidak tepat kalau menjadikan sunnah sebagai
kambing hitamnya. Karena realitas historis juga telah membuktikan kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sosio-kultural termotivasi oleh
hadits nabi disamping al-Qur’an. Ini sebagai bukti kelompok Inkar
Al-Qur’an;-sunnah tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam historiografi
Islam dan Ilmu Hadits.
3. Dalam
berbagai literatur dan dokumen historis telah ditemukan perhatian sahabat yang
besar terhadap hadits, seperti Ibnu Abbas (w. 69 H) demikian juga Ibnu ‘Amr
Ibnu ‘As (w. 65 H), merupakan diantara
4. sahabat
yang sangat commited terhadap hadis dan sangat rajin membukukannya dari Nabi.
Demikian juga sahabat lain seperti khalifah yang empat.
5. Pandangan
Taufiq Sidiq sangat lemah dilihat dari perspektif historiografi, karena dalam
beberapa hal dan keadaan cukup banyak para sahabat yang mempunyai koleksi
hadits nabi walaupun masih dalam
6. Bentuk
private collection (koleksi pribadi). Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah dan
beberapa surat Nabi yang dikirim kepada para Raja merupakan bukti konkritnya.
7. Kritik
sanad dengan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil merupakan media dalam melakukan kritik
obyektif terhadap kwalitas pribadi dan khazanah intelektual para transmitter
(rawi), serta metode yang mereka terapkan dala mentransmisikan hadits tersebut,
yang terhimpun dalam bab tahammul wa ‘ada al-hadits.
8. Sunnah
telah melahirkan sikap pro-kontra tentang keorisinilannya yang diakui datangnya
dari nabi yang diproyeksikan kebelakang sejak abad ke II H. Polemik ini
menimbulkan implikasi lebih jauh, yaitu disatu sisi terdapat komunitas
masyarakat muslim yang tetap berpegang dan mengakui validitas dan otentisitas
hadits sebagai sumber ajaran Islam. Di sisi lain terdapat golongan yang
bersikap skeptis dan apriori dengan tetap menolak eksisitensi dan substansi
sunnah. Kelompok inilah yang akhirnya
9. Mengkristal
menjadi golongan Inkar Al-Sunnah.
Dari berbagai pendapat yang
diajukan kelompok Inkar Al- Sunnah, belum menunjukkan sebuah statemen yang
mendasar, karena disebabkan beberapa faktor:
1. Penolakan
mereka terhadap sunnah lebih menunjukkan sikap skeptis dan apriori, yang tidak
didukung serta didasarkan pada studi ilmiah obyektif tentang perkembangan
disiplin Ilmu Hadits.
2. Basis
dan kapasitas keilmuan mereka yang belum mumpuni dan mendalam terhadap studi
yang berkaitan dengan hadits seperti bahasa Arab, histori Islam, sejarah
pentransmisian dan pembinaan hadits, lengkap dengan aksesoris yang terdapat
didalamnya, seperti kaidahkaidah, istilah-istilah tertentu dalam ilmu hadits,
demikian juga dengan metodologi analisis hadits.
3. Sebagian
mereka terkesan memaksakan diri untuk hanya memegang al- Qur’an sebagai sumber
ajaran Islam dan dengan statemen yang hanya didasarkan pada penggunaan rasionalitas
formal. Disamping itu mereka juga enggan untuk melibatkan diri dalam
pengelaborasian Ilmu Hadits dengan metodologi serta pisau analisisnya, yang
pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri.
4. Rasa
apatis dan anti pati terhadap para sahabat nabi dan orang yang berupaya
melakukan pengumpulan dan modifikasi hadits yang diekspresikan melalui sikap
skeptis terhadap karya para ulama tersebut.
5. Para
pengingkar sunnah tidak memahami realitas hukum Islam, yang memandang sunnah
sebagai sumber yang imperatif guna memperoleh formulasi yang utuh dan
komprehensif dalam mengistinbatkan hukum.
Terutama
terhadap persoalan yang secara tekstual tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Terlepas
dari semua itu, persoalan signifikan yang melatarbelakangi munculnya Inkar
al-Sunnah adalah karena timbulnya keraguan mereka terhadap validitas dan
otentisitas sunnah yang diproyeksikan kebelakang dari abad kedua Islam. Kondisi
ini diperburuk lagi dengan langkanya sumber-sumber obyektif yang independen dan
bebas nilai memverifikasi berbagai fakta realitas-realitas historis.
VII.
KESIMPULAN
1. Penganut
paham ingkar al-sunnah adalah orang-orang yang menolak keberadaan sunnah dan
mengingkari kedudukan dan posisinya sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti
setelah al-Qur’an.
2. Kelompok
inkar al-Sunnah ini mempunyai berbagai argumentasi yang dikedepankan sebagai
memberikan justifikasi terhadap statemen yang mereka kemukakan. Argumentasi
yang mereka ajukan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu argumentasi dalam bentuk
ras secara tekstual (naql) dan argumentasi berdasarkan logika formal (aqli).
3. Para
pembela sunnah mengatakan seluruh argumentasi yang diajukan atau dikedepankan
oleh kelompok inkar al-Sunnah dinilai lemah oleh mayoritas kaum muslimin. Dan
para intelektual dari kalangan muhaddisin membantah terhadap statemen dan
argumentasi-argumentasi yang merekaajukan.
DAFTAR BACAAN
Abdul
Wahid, Ramli, Makalah, Ingkar Sunnah
,Telaah Terhadap Paham Dan Argumen Ingkar Sunnah, Jumat, 22 Februari 2008,Download
20 Nov 2011.
IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta,
Djambatan, 1992.
M,
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya,
Jakarta, Gema Insani Press, 1992.
Muhammad
Ibnu Idris Al-Syafi’i, Al-Um, Beirut: Dar Al-Fikr,tt.
Ahmad
Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta, Media Da’wah,
1984.
Kasim Ahmad, Hadits Satu
Penilaian Semula, Selangor, Media Intelek, 1986. Tahir Hakim, Sunnah Dalam Tatanan Pengingkarnya, Alih
Bahasa M. Ma’ruf Misbah, Jakarta, Granada, tt.
Al-Qurtubi, Al-Jami ‘li
al-Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar Al-Kurub al-Rabbai, 1347 H.
M. Syuhudi Ismail,
Metodologi Penelitian Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1 992.
Abdul Aziz dkk,
Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1989.
Natsir
Mohd Nur, Makalah, Ingkar Sunnah Dizaman Moderen, UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, Download 20 Nov 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar