Senin, 03 April 2017

IDENTIFIKASI PAHAM INGKAR SUNAH

I.               PENDAHULUAN
Inkar Sunnah merupakan suatu paham menolak Hadis Nabi saw. yang lahir sejak masa awal Islam, terutama di zaman Imam asy-Syufii dan mengalir timbul tenggelam dalam sejarah sampai masa sekarang. Paham ini bertentangan dengan perintah Alquran untuk mengikuti dan menauladani Nabi dalam melaksanakan ajaran Alquran. Karena menolak Sunnah, sedang keterangan Al-quran bersifat umum dan tidak terperinci, maka penganut Inkar Sunnah menafsirkan Alquran se-kehendak hatinya, baik dalam menguatkan pahamnya maupun dalam pelaksanaan ibadah dan a-mal Islam. Sebagian mereka salat dua tiga kali sehari semalam dan sebagian yang lain lima kali. Rakaatnya pun masing-masing dua rakaat. Salat bentuk lain pun boleh juga. Argumen mereka tidak benar dan berdasarkan nas-nas Alquran dan Hadis,         paham Inkar Sunnah adalah sesat dan ke luar dari Islam.

  II.          PENGERTIAN  PAHAM  INGKAR SUNAH
Ingkar Sunnah berarti mengingkari sunnah nabi, dimaksudkan untuk menunjuk paham yang timbul dalam komunitas masyarakat muslim yang menolak hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua. Orang-orang yang menolak keberadaan sunnah dan mengingkari kedudukan dan posisinya sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti setelah al-Qur’an, merekalah yang dikatakan sebagai penganut paham Inkar Sunnah atau dalam istilah yang kurang populer disebut juga sebagai munkir al-sunnah.
Dikatakan sebagai kelompok Inkar Sunnah dan tidak disebut dengan Inkar Al-Hadits, karena penyebutan dengan kata sunnah lebih tajam dari pada kata hadits. Mengingkari sunnah tidak hanya berarti mengingkari perkataan dan perbuatan nabi, tetapi lebih dari itu juga mengingkari tradisinya yang ditransmisikan dan dijaga secara kolektif oleh komunitas muslim secara turun-temurun dan generasi ke generasi berikutnya.
Secara garis besar, paham ini dibedakan menjadi tiga kelompok , yaitu :
1.      Kelompok yang menolak sunnah, secara baik yang bernilai sahih, hasan maupun da’if sekalipun.
2.      Kelompok yang menolak sebagian hadits atau sunnah, yaitu hadits yang tidak sesuai dengan al-Qur’an secara tekstual.
Kelompok ini menganggap hadits atau sunnah tidak memiliki kompetensi dalam menciptakan hukum yang baru.
3.      Kelompok yang menolak sunnah yang tidak bernilai mutawatir.

 III.       SEJARAH  LAHIRNYA PAHAM  INGKAR  SUNAH
Kajian tentang Ingkar Sunnah secara historis selalu merujuk kitab al-Umm karya Imam Syafii (w. 150 H). Di zaman modern, terkenal tokoh Inkar Sunnah di berbagai daerah, seperti Taufiq Shidqi di Mesir, Garrah Ali dan Gulam Ahmad Parwez di India-Pakistan, Kassim Ahmad di Malaysia, Rasyad Khalifah di Amerika, Haji Abdurrahman, Ustaz H. Sanwani, dan Ir. Irham Sutarto di Jakarta, Dailami Lubis di Sumatera Barat, dan untuk Medan juga sudah ada, baik yang terus terang menolaknya maupun yang menolaknya secara ilmiah.
Kelompok Inkar Sunnah berdasarkan urutan waktunya terbagi dua, yaitu,
1.      Inkar Sunnah Klasik
Kelompok ini muncul pada abad pertama dan berkembang pada abad kedua hijriyah dan lenyap dari peredaran pada abad ketiga hijriyah.
Pada awalnya, kelompok inkar sunnah ini merupakan sikapsikap individual dan timbul karena ketidak tahuan tentang kedudukan sunnah itu sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, yakni abad kedua, beberapa aliran teologi Islam seperti Khawarij, Syi'ah dan Mu'tajilah dipandang sebagai inkar Sunnah klasik, meski hal ini perlu penelitian lebih lanjut.
Inkar Sunnah klasik telah dilumpuhkan oleh al-Syafi'i melalui perdebatan panjang sebagaimana yang termuat dalam kitab al-Umm.

2.      Inkar Sunnah Modern.
Kelompok ini pertama kali lahir di Mesir dengan tokohnya Syeikh Muhammad Abduh yang kemudian diikuti muridnya yaitu Sayyid Rasyid Ridla meskipun pada akhir hayatnya beliau menjadi pembela sunnah. Disamping kedua tokoh tadi, tercatat pula Abu Rayyah, Ahmad Amin, Ismai; Adham dan Taufiq Sidqy. Inkar Sunnah modern sebenarnya hanya mengingkari hadits-hadits ahad. (Mushtafa Ya'kub, Kritik Hadits,. h. 39-59) dan yang menolak seluruh hadits meskipun bersifat mutawatir, hanyalah madzhab Qur'ani yang dipelopori oleh Ghulam Ahmad Parwez. Sedangkan pembela sunnah modern yang banyak mementahkan argumen-argumen pendukung Inkar Sunnah adalah Muhammad Musthafa Azhami dan Musthafa al-Siba'i (Muh. Zuhri)
Menurut Prof.Dr.M.Musthafa Al-Azhami sejarah ingkar sunnah klasik terjadi pada masa Asy-Syafi’I abad ke-2 H/7M. kemudian hilang dari peredarannya selama kurang lebih 11 abad. Kemudian pada abad modern ingkar sunnah timbul lagi di India dan Mesir dari abad 19M/13H sampai pada masa sekarang. Sedang pada masa pertengahan ingkar sunnah tidak muncul kembali, kecuali Barat mulai meluaskan kolonialismenya ke Negara-negara islam dengan menaburkan fitnah dan menorang-coreng citra agama islam.
Paham ingkar sunnah klasik terjadi pada masa imam Sya-Syafi’i yang menolak kehujahan sunnah dan menolak sunnah sebagai sumber hukum islam baik mutawatir atau ahad. Imam Sya-Syafi’i yang dikenal sebagai Nashir As-Sunnah (pembela sunnah) pernah didatangi oleh seseorang yang disebut sebagai ahli tentang mazhab teman-temannya yang menolak seluruh sunnah. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Sya-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang diajukan. Namun, semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis oleh Sya-Syafi’I dengan jawaban yang argumentative, ilmiah, dan rasional sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunnah Nabi.
            Menurut penelitian Muhammad Al-Khudhari Beik bahwa seorang yang mengajak berdebat dengan Sya-Syafi’I tersebut dari kelompok Mu’tazilah, karena dinyatakan oleh Sya-Syafi’I bahwa ia datang dari Bashrah. Sementara Bashrah pada saat itu menjadi basis pusat teologi Mu’tazilah dan munculnya para tokoh Mu’tazilah yang dikenal sebagai oposisi Ahlu hadist. Sedang menurut keterangan Muhammad Abu Zahrah, Abudurrahman bin Mahdi (salah seorang pembela Sya-Syafi’I dan hidup semasanya) orang tersebut dari kalangan ekstrimis kaum khawarij dan Zindiq dengan alasan sebagian golongan Khawarij tidak mengakui hukum rajam bagi pezina muhshan (telah nikah) karena tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
            Komentar As-Siba’I, pendapat Al-Khudari Beik yang lebih kuat, karena dilihat dari segi argumentasinya sama dengan yang diajukan oleh An-Nazhzham yang mengingkari kepastian sunnah mutawatirah seperti bilangan rakaat shalat yang disepakati oleh para ulama. Pendapat ini menurutnya juga didukung oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits yang menyebut kedudukan tokoh-tokoh Mu’tazilah terhadap sunnah. Muhammad abu Zahrah juga membenarkan bahwa pengingkar sunnah tersebut dari kelompok Mu’tazilah. Namun, bisa jadi esensi mereka adalah dari kelompok Zindiq dan ekstrimis Khawariz (sebagaimana kata Abdurrahman bin Mahdi) yang berkedok Mu’tazilah untuk mencapai ttujuan tertentu.
            Analisis oposisi Sya-Syafi’I di atas yang dinilai dari sekte Mu’tazilah, tidak pasti kebenarannya karena penolakan sunnah secara keseluruhan bukan pendapat Mu’tazilah bahkan bukan pendapat umat islam, bisa jadi sama dengan pendapat An-Nazhzham secara perorangan dari sekte Mu’tazilah. Akan tetapi baju Mu’tazilah dari kelompok kaum Zindiq atau ekstrimis Khawarij Al-Azariqah, karena merekalah yang menolak sunnah secara keseluruhan.
            Demikian oposisi Sya-Syafi’i yang secara rinci dan argumentasi berdebat dengan Sya-Syafi’i. Namun, segala argumentasinya dapat dipatahkan oleh Sya-Syafi’i. Akhirnya ia bertekuk lutut dan mengakui kehujahan sunnah. Penolakan sunnah bagi oposisi ini juga merupakan pendapat perorangan bukan pendapat kolektif, sekalipun ia mengaku dari sekte tertentu.

 IV.       AJARAN POKOK PAHAM INGKAR SUNNAH
1.      Dasar ajaran Islam hanyalah Alquran karena Alquran sudah lengkap dan sempurna.
2.      Tidak percaya dan menolak seluruh Hadis Nabi saw.
3.      Nabi Muhammad tidak berhak untuk memberikan penjelasan apa pun tentang Alquran
4.      Syahadat mereka adalah Isyhadu bi annana muslimun (saksikan kamulah bahwa kami orang-orang Islam)
5.      Rakaat dan cara salat terserah kepada masing-masing, boleh dua rakaat dan boleh dengan eling (ingat) saja
6.      Puasa wajib bagi yang melihat bulan saja, tidak wajib bagi orang yang tidak melihatnya dengan alasan ayat “ faman syahida minkumusy syahra falyashumhu “ (Barang siapa yang melihat bulan di antara kamu maka hendaklah ia puasa)
7.      Haji boleh dilakukan selama bulan-bulan haram, yaitu Muharram, Rajab, Sya`ban, dan Zulhijjah
8.      Pakaian ihram boleh dengan celana, baju, jas, dan dasi.
9.      Orang yang meninggal tidak disalatkan karena tidak ada perintah dalam Alquran.
10.  Pengajian-pengajian Inkar Sunnah di Jakarta membuat semua salat dua-dua rakaat tanpa azan dan iqamah.

  V.          ALASAN PENGINGKAR SUNNAH
Alasan yang dijadikan pedoman ingkar sunnah diantaranya adalah :


1.      Al-Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu secara sempurna, bukan yang diterangkan. Al-Qur’an tidak perlu keterangan dari sunnah, bila Al-Qur’an perlu keterangan berarti tidak sempurna. Sebagaikama Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-An’am:38 yang berbunyi :

مَافَرَّطنَا فِى الْكِتَبِ مِنْ شَيْ ءٍ ثُمَّ اِلَى رَبِهِمْ يُحْشَرُوْنَ  
 Artinya : Tidak ada sesuatu yang kami tinggalkan dalam al-kitab (QS.Al-An’Am:38)
Argumentasi ini mendapat tanggapan dari beberapa sunnah Al-Azhar, diantaranya prof. Dr. Abdul Ghani Abdul Khaliq yang menandaskan bahwa ayat yang dijadikan pedoman para ingkar sunnah sebagai hujah tidak benar karena maksud Al-Kitab dalam surah Al-An’am (6): 37 adalah “Lawh Al-Mahfudz” yang mengandung bahwa Al-Qur’an menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pokok-pokok agama dan hukum-hukumnya. Penjelasan Al-Qur’an secara mujmal (globalitas) dan yang pokok-pokok saja. Masalah-masalah cabang (furu’iyah) dijelaskan oleh sunnah.
2.    Penulisan  sunnah dilarang, seandainya sunnah dijadikan dasar hukum Islam pasti Nabi tidak melarang.
Memang penulisan sunnah pada masa Nabi dilarang untuk umum, tapi bagi orang-orang khusus ada yang diperbolehkan atau dalam istilah lain catatan hadist untuk umum terlarang, tetapi untuk catatan pribadi banyak sekali yang diizinkan Nabi seperti catatan Abdullah bin Amr bin Al-Ash yang diberi nama Ash-Shahifah Ash-Shadiqoh, Abu Syah seorang sahabat dari yaman dimana sahabat lain diizinkan Nabi untuk menuliskannya, dan lain-lain.
Larangan penulisan pada masa Nabi cukup beralasan sebagai alasan religius dan sosial, antara lain sebagai berikut:
a.       Penulisan hadist dikhawatirkan campur dengan penulisan Al-Qur’an, karena kondisi yang belum memungkinkan dan kepandaian tulis menulis serta sarana prasarana yang belum memadai.
b.      Umat islam pada awal perkembangan Islam bersifat ummi (tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis) kecuali hanya beberapa orang sahabat saja yang dapat dihitung dengan jari, itu pun diperuntukan penulisan Al-Qur’an.
c.       Kondisi perkembangan teknologi yang sangat masih primitive, Al-Qur’an saja masih ditulis di atas pelepah kurma, kulit, tulang binatang, batu-batuan, dan lain sebagainya. Pada waktu itu belum ada kertas, pulpen, tinta, spidol, dan apalagi foto kopi, jadi tidak bisa dianalogikan dengan zaman modern sekarang.
d.      Sekalipun orang-orang arab mayoritas ummi, namun mereka kuat-kuat, sehingga Nabi cukup mengandalakan dengan hapalan mereka dalam mengingat hadist.
3.    Al-Qur’an bersifat qath’i (pasti absolute kebenarannya), sedang sunnah bersifat zhanni (bersifat relative kebenarannya), maka jika terjadi kontradisi antar keduanya, sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh sunnah zhann dan zhann tidak dapat dijadikan hujah dalam beragama.
Kata zhann di beberapa tempat dalam Al-Qur’an tidak hanya mempunyai satu arti saja sebagaimana yang dituduhkan oleh ingkar sunnah di atas, ia mempunyai makna banyak, diantaranya; bermakna yakin (al-yaqin).
Arti zhann memang ada yang tercela, tatapi ada pula yang terpuji dalam syara’, sebagaimana yang disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur’an di atas.
Zhann hadist ahad mempunyai makna “dugaan kuat dan unggul” di antara dua sisi yang berlawanan yaitu antara dugaan lemah dan dugaan yang kuat. Dugaan yang kuat inilah yang disebut zhann, oposisinya dugaan lemah disebut waham, sedang dua dugaan yang seimbang tidak ada yang kuat dan tidak ada yang lemah disebut syakk (keraguan).
Zhann seperti ini diterima oleh ulama hadist yang mengantarkan validitas suatu berita, bahwa ia diduga kuat benar dari Nabi, bahkan jika didapatkan qarinnah atau bukti yang kuat dapat naik menjadi ilmu dan pasti.
Di kalangan ulama islam terjadi kontra pada eksitensi kualitas hadist ahad, apakah ia dapat memberi faedah zhann (dugaan kuat), atau ilmu. An-Nawawi berpendapat hadist ahad berfaedah zhann, sedangkan menurut mayoritas ahli hadist berfaedah ilmu dan menurut Ibnu Hazm ilmu dan amal.
Zhann disini diartikan “dugaan kuat” posisinya dibawah sedikit dari ilmu, bahkan jika diperkuat dengan qarinah atau bukti-bukti lain yang dipertanggungjawabkan dapat naik menjadi ilmu, Tidak seperti zhann yang diduga oleh ingkar sunnah di atas yang hanya diartikan syakk(ragu). Jika datang kepada kita seorang periwayat yang terpercaya dengan sanad yang lengkap, bahwa hadist ini diriwayatkan oleh malik dalam kitabnya Al-Muwaththa dari Al-Zanad dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah dari Rasul SAW berkata demikian:
Kita mengetahui, bahwa setiap periwayat tersebut ahlu diriyah dan riwayah serta tsiqah (dapat dipercaya kejujurannya dan daya ingatnya) tentu kita yakin pada berita yang dibawanya.
4.    Hanya al-Qur’an yang memilki otoitas dan legitimasi menjadi sumber hukum Islam. Untuk itu Allah telah menjamin kelestarian, keutuhan dan keorisinilannya sampai hari Kiamat. Sesuai dengan Firman Allah SWT;
     Argumentasi ini dipegang Rasyid Rida dan Taufiq Sidqi, Abu Rayyah dan para pengingkar sunnah dari Pakistan. Sedangkan kelompok lain berpendapat, hadits tidak dapat dikategorikan sebagai wahyu, karena bisa dikatakan wahyu tentu akan ada jaminan atau garansi dari Allah SWT untuk memelihara kelestarian dan keorisinalannya sampai hari Kiamat nanti.
Adapun dalil akal yang digunakan oleh paham ini diantanya adalah :
1.    Al-Qur’an ditransformasikan Allah SWT dalam bahasa Arab, yang nota bene sebagai bahasa sehari-hari komunitas masyarakat muslim dimana al-Qur’an itu diturunkan. Tentu bagi orang mampu memahami bahasa Arab dari segi balaghah, uslub dan tata bahasa secara baik dan benar, dalam memahami al-Qur’an tidak memerlukan perantara termasuk dari hadits atau sunnah dalam menangkap pesan-pesan moral al-Qur’an dengan pemaknaan yang benar dan lebih komprehensif.
2.    Realitas sejarah menunjukkan umat Islam telah terpolarisasi menjadi beberapa kelompok karena perbedaan paham dalam memahami realitas agama yang menimbulkan konsekuensi kemunduran Islam dalam peraturan dan persaingan internasional sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan dalam penggunaan hadits sebagai literatur mereka. Berdasarkan premi diatas dapat ditarik benang merah bahwa hadits merupakan salah satu penyebab mundurnya umat Islam.
3.    Modifikasi kitab-kitab hadits bermuncul sekitar 40 sampai 50 tahun setelah Nabi wafat. Sehingga sangat rentan akan terkontaminasi dengan pendapat rawinya, baik dalam bentuk penambahan maupun pengurangan. Sehingga otentisitas dan validitasnya tidak bias dibuktikan. Hal ini juga didukung realita dan fakta, sangat tingginya persentase hadits dari segi teks (matan) yang termuat dalam al-kutub al-sittah yang concent-nya sangat bertentangan dengan pesan-pesan al-Qur’an dan logika formal.
4.    Taufiq Sidqi menambahkan, tidak satupun hadits yang dicatat pada masa Nabi. Dalam rentang waktu tersebut hadits sangat rentan terhadap upaya memutarbalikkan fakta, dengan cara mempermainkan dan merusak hadits sebagaimana yang telah terjadi.
5.    Signifikasi metode analisis-korektif yang berwawasan obyektif terhadap hadits seperti kritik sanad, masih belum representatif dan masih lemah dalam menentukan kesahihan (realibility) sebuah hadits, karena dua alasan; pertama kritik sanad yang terdapat dalam  ‘ilmu al-jarh wa al-ta’dil,20 baru muncul satu setengah abad setelah Nabi wafat. Sehingga mata rantai pentransmisian pada masa sahabat Nabi tidak dapat ditemui dan diteliti lagi. Kedua seluruh sahabat nabi sebagai perawi pada tingkatan pertama, dinilai semua adil oleh para muhaddisin abad III H atau awal abad IV H, dengan konsep ta’dil alsahabah, sehingga mereka dikategorikan sebagai orang yang ma'sum dari kesalahan dan kekeliruan dalam meriwayatkan hadits.
    Inilah argumentasi-argumentasi dan dasar statemen mereka sebagai, upaya justifikasi terhadap statemen yang digulirkannnya. Terlepas dari benar dan salahnya kita dapat menjadikannya sebagai stimulus bagi gerakan intelektual muslim, khususnya bagi kalangan muhaddisin dalam mencari formulasi dan argumentasi yang independen dengan berwawasan obyektif yang jauh dari kesan apologis, apalagi sikap apriori, tetapi dengan berlandaskan logika formal merupakan solusi yang realistis.

 VI.       PANDANGAN PARA PEMBELA SUNNAH
Seluruh argumentasi yang diajukan dan menjadi dasar dari berbagai statemen yang dikedepankan oleh kelompok Inkar Al-Sunnah dinilai lemah oleh mayoritas muslim. Untuk para intelektual dari kalangan muhaddisin melakukan counter attact terhadap statemen dan argumentasi yang mereka ajukan tersebut.
Bantahan terhadap argumentasi yang didasarkan pada dalil-dalil naqli adalah;
1.      Pandangan yang mengatakan sunnah Nabi zann, sedangkan kita dituntut untuk menggunakan yang yakin saja yaitu al-Qur’an. Padahal ayat al- Qur’an jika dilihat dari perspektif asbab al-nuzul-nya memang diakui qat’i datang dari Allah SWT, namun jika dilihat dari perspektif dalalahnya masih sangat banyak yang bernilai zanniyat al-dalalah dengan pengertian yang zann juga dan belum memberikan kepastian hukum.
2.      Hadits-hadits yang berstatus ahad memang bersifat zann, namun disisi lain juga didapati ayat-ayat yang dalam pengertiannya juga mengandung makna zann. Sehingga jika ditilik dari perspektif pengertian dan makna, antara sebagian ayat al-Qur’an dengan hadits ahad tidak ada perbedaan yang signifikan.
3.      Ayat-ayat al-Qur’an dalam menjelaskan hukum dan kewajiban tertentu sebagian masih bersifat general, yang menghendaki penjelasan (bayan), salah satunya dengan menggunakan sunnah Nabi.
4.      Kelompok Inkar al-Sunnah trekesan sepotong-potong dalam mengambil ayat al-Qur’an, sehingga sangat terlihat kekurangan waktu untuk menelaah ayat-ayat tersebut. Misalnya mereka hanya berdalil dengan surat An-Nahl ayat: 89, Padahal dalam konteks yang lain Allah juga berfirman dalam surat An-Nahl ayat: 44, tapi tidak mereka jadikan hujjah.
5.      Surat Al-An’am ayat 38, dalam pemahaman para ulama sangat berbeda dengan pemahaman kelompok Inkar al-Sunnah. Menurut para ulama, arti kata al-kitab dalam ayat tersebut adalah “segala sesuatu tidak ada yang dialfakan Allah SWT, semuanya telah termuat di lauh al-mahfuz”
Inilah pandangan sekaligus jawaban para pembela sunnah dalam membantah argumentasi yang diajukan dalam bentuk dalil naqli.
Adapun pandangan terhadap argumentasi yang berdasarkan logika adalah;
1.      Orang yang memahami bahasa Arab secara baik dari segi tata bahasa demikian juga uslubnya yang dapat dikatakan sebagai pakar bahasa sekalipun tidak akan mampu memahami al-Qur’an secara keseluruhan. Karena kata-katanya masih banyak yang bervariasi, ada yang global ada pula yang masih mubham dan lain sebagainya ang dalam pemaknaan sangat membutuhkan intrvensi dari sunnah Nabi.
2.      Realitas sejarah kemunduran umat Islam memang suatu kenyataan dan perpecahan menjadi salah satu penyebabnya, namun tidak tepat kalau menjadikan sunnah sebagai kambing hitamnya. Karena realitas historis juga telah membuktikan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sosio-kultural termotivasi oleh hadits nabi disamping al-Qur’an. Ini sebagai bukti kelompok Inkar Al-Qur’an;-sunnah tidak memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam historiografi Islam dan Ilmu Hadits.
3.      Dalam berbagai literatur dan dokumen historis telah ditemukan perhatian sahabat yang besar terhadap hadits, seperti Ibnu Abbas (w. 69 H) demikian juga Ibnu ‘Amr Ibnu ‘As (w. 65 H), merupakan diantara
4.      sahabat yang sangat commited terhadap hadis dan sangat rajin membukukannya dari Nabi. Demikian juga sahabat lain seperti khalifah yang empat.
5.      Pandangan Taufiq Sidiq sangat lemah dilihat dari perspektif historiografi, karena dalam beberapa hal dan keadaan cukup banyak para sahabat yang mempunyai koleksi hadits nabi walaupun masih dalam
6.      Bentuk private collection (koleksi pribadi). Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah dan beberapa surat Nabi yang dikirim kepada para Raja merupakan bukti konkritnya.
7.      Kritik sanad dengan ‘ilm al-jarh wa al-ta’dil merupakan media dalam melakukan kritik obyektif terhadap kwalitas pribadi dan khazanah intelektual para transmitter (rawi), serta metode yang mereka terapkan dala mentransmisikan hadits tersebut, yang terhimpun dalam bab tahammul wa ‘ada al-hadits.
8.      Sunnah telah melahirkan sikap pro-kontra tentang keorisinilannya yang diakui datangnya dari nabi yang diproyeksikan kebelakang sejak abad ke II H. Polemik ini menimbulkan implikasi lebih jauh, yaitu disatu sisi terdapat komunitas masyarakat muslim yang tetap berpegang dan mengakui validitas dan otentisitas hadits sebagai sumber ajaran Islam. Di sisi lain terdapat golongan yang bersikap skeptis dan apriori dengan tetap menolak eksisitensi dan substansi sunnah. Kelompok inilah yang akhirnya
9.      Mengkristal menjadi golongan Inkar Al-Sunnah.
Dari berbagai pendapat yang diajukan kelompok Inkar Al- Sunnah, belum menunjukkan sebuah statemen yang mendasar, karena disebabkan beberapa faktor:
1.      Penolakan mereka terhadap sunnah lebih menunjukkan sikap skeptis dan apriori, yang tidak didukung serta didasarkan pada studi ilmiah obyektif tentang perkembangan disiplin Ilmu Hadits.
2.      Basis dan kapasitas keilmuan mereka yang belum mumpuni dan mendalam terhadap studi yang berkaitan dengan hadits seperti bahasa Arab, histori Islam, sejarah pentransmisian dan pembinaan hadits, lengkap dengan aksesoris yang terdapat didalamnya, seperti kaidahkaidah, istilah-istilah tertentu dalam ilmu hadits, demikian juga dengan metodologi analisis hadits.
3.      Sebagian mereka terkesan memaksakan diri untuk hanya memegang al- Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dan dengan statemen yang hanya didasarkan pada penggunaan rasionalitas formal. Disamping itu mereka juga enggan untuk melibatkan diri dalam pengelaborasian Ilmu Hadits dengan metodologi serta pisau analisisnya, yang pada dasarnya memiliki karakteristik tersendiri.
4.      Rasa apatis dan anti pati terhadap para sahabat nabi dan orang yang berupaya melakukan pengumpulan dan modifikasi hadits yang diekspresikan melalui sikap skeptis terhadap karya para ulama tersebut.
5.      Para pengingkar sunnah tidak memahami realitas hukum Islam, yang memandang sunnah sebagai sumber yang imperatif guna memperoleh formulasi yang utuh dan komprehensif dalam mengistinbatkan hukum.
Terutama terhadap persoalan yang secara tekstual tidak termaktub dalam Al-Qur’an.
Terlepas dari semua itu, persoalan signifikan yang melatarbelakangi munculnya Inkar al-Sunnah adalah karena timbulnya keraguan mereka terhadap validitas dan otentisitas sunnah yang diproyeksikan kebelakang dari abad kedua Islam. Kondisi ini diperburuk lagi dengan langkanya sumber-sumber obyektif yang independen dan bebas nilai memverifikasi berbagai fakta realitas-realitas historis.

VII.       KESIMPULAN
1.      Penganut paham ingkar al-sunnah adalah orang-orang yang menolak keberadaan sunnah dan mengingkari kedudukan dan posisinya sebagai sumber ajaran yang wajib diikuti setelah al-Qur’an.
2.      Kelompok inkar al-Sunnah ini mempunyai berbagai argumentasi yang dikedepankan sebagai memberikan justifikasi terhadap statemen yang mereka kemukakan. Argumentasi yang mereka ajukan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu argumentasi dalam bentuk ras secara tekstual (naql) dan argumentasi berdasarkan logika formal (aqli).
3.      Para pembela sunnah mengatakan seluruh argumentasi yang diajukan atau dikedepankan oleh kelompok inkar al-Sunnah dinilai lemah oleh mayoritas kaum muslimin. Dan para intelektual dari kalangan muhaddisin membantah terhadap statemen dan argumentasi-argumentasi yang merekaajukan.

  
DAFTAR BACAAN

Abdul Wahid, Ramli, Makalah, Ingkar Sunnah ,Telaah Terhadap Paham Dan Argumen Ingkar Sunnah, Jumat, 22 Februari 2008,Download  20 Nov 2011.
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1992.
M, Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta, Gema Insani Press, 1992.
Muhammad Ibnu Idris Al-Syafi’i, Al-Um, Beirut: Dar Al-Fikr,tt.
Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Al-Sunnah dan Jawabannya, Jakarta, Media Da’wah, 1984.
Kasim Ahmad, Hadits Satu Penilaian Semula, Selangor, Media Intelek, 1986. Tahir Hakim, Sunnah Dalam Tatanan Pengingkarnya, Alih Bahasa M. Ma’ruf Misbah, Jakarta, Granada, tt.
Al-Qurtubi, Al-Jami ‘li al-Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar Al-Kurub al-Rabbai, 1347 H.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1 992.
Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1989.

Natsir Mohd Nur, Makalah, Ingkar Sunnah Dizaman Moderen, UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, Download  20 Nov 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB III KONDISI UMUM

BAB III KONDISI UMUM KUA KECAMATAN WARUNGASEM KABUPATEN BATANG A.     Kondisi Objektif KUA Kecamatan Warungasem KUA K ec. War...