BAB I
PENDAHULUAN
Fiqh
Jinayah adalah pengetahuan tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan
yang dilarang dan hukumannya. Selain membahas tentang berbagai macam tindak
pidana, fiqh jinayah juga membahas hukuman-hukuman bagi masing-masing pelanggaran.
Jadi, segala perbuatan yang melanggar aturan Islam (Al-Qur’an) akan dikenakan
sanksi yang sudah ditetapkan baik dalam Al-Qur’an dan Hadits, maupun oleh ulil
amri atau hakim sendiri.
Dikalangan fuqaha’ lazimnya menyamakan istilah Jinayah dengan Jarimah (delik) tanpa mengadakan perbedaan khusus lagi.
Dikalangan fuqaha’ lazimnya menyamakan istilah Jinayah dengan Jarimah (delik) tanpa mengadakan perbedaan khusus lagi.
Konsep jinayah sangat berkiatan erat dengan masalah
“larangan” karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah
merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’. Larangan ini timbul
karena perbuatan-perbatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu dengan adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup
bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara.
Paling tidak ada lima jenis kejahatan yang dikenai hukuman –
hukuman (hudud) tertentu dari syar’i,yaitu pembunuhan (al
qatl) dan pelukaan (al jarh), zina dan pelacuran (sifah), pencurian,
Kejahatan atas kehormatan (qadzf), dan meminum minuman keras (khamr).
Pada makalah ini penulis
membatasi pembahasannya pada masalah jarimah zina dan tuduhan zina saja.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A. PENGERTIAN JARIMAH ZINA .
Zina
adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan
perkawinan yang sah, baik dilakukan secara sukarela maupun paksaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia zina
memiliki dua arti pertama perbuatan bersenggama antara laki-laki dan
perempuan yang tidak terikat oleh
hubungan pernikahan, kedua perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat
perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan
yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.(Kamus
Besar Bahasa Indonesia:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Balai Pustaka
)
Para Ulama dalam memberikan definisi zina ini berbeda
redaksinya, namun dalam substansinya hampir sama, diantaranya yang kami
paparkan adalah:
Pendapat Syafi’iyah
Sebagaimana yang di kutip oleh Abdul Qadir Audah,
memberikan definisi sebagai berikut :
“Zina adalah memasukkan zakar kedalam farji yang
diharamkan karena zatnya tanpa ada syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan
syahwat”.
Pendapat Malikiyah
Yakni:” zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh
orang mukallaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara
disepakati dengan kesengajaan”.
Dalam Hukum Islam, persetubuhan yang di anggap sebagai
zina adalah persetubuhan dalam farji (kemaluan). Ukurannya adalah apabila
kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk
ke dalam farji walaupun sedikit. Juga dianggap sebagai zina walaupun ada
penghalang antara zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan ),
selama penghalangnya tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan
bersenggama.
B. UNSUR – UNSUR ZARIMAH ZINA
1.
Persetubuhan yang diharamkan
Persetubuhan yang dianggap sebagai zina adalah
persetubuhan dalam farji (kemaluan). Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan
telah masuk ke dalam farji walaupun sedikit. Juga dianggap sebagai zina
meskipun ada penghalang antara zakar dan farji, selama penghalangnya tipis dan
tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.
Disamping itu, kaidah untuk menentukan persetubuhan
sebagai zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan pada miliknya sendiri.
Dengan demikian apabila persetubuhan terjadi dalam lingkungan hak milik sendiri
karena ikatan perkawinan, maka persetubuhan itu tidak dianggap sebagai zina,
walaupun persetubuhanya diharamkan karena suatu sebab. Hal ini karena hukum
haramnya persetubuhan tersebut datang belakangan karena adanya suatu sebab
bukan karena zatnya. Contoh; Menyetubuhi istri yang sedang haid, nifas, atau
sedang berpuasa Ramadhan. Persetubuhan ini dilarang tetapi tidak dianggap
sebagai zina.
Apabila persetubuhan tidak memenuhi ketentuan
tersebut maka tidak dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman had, melainkan
suatu perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta’zir, walaupun
perbuatanya itu merupakan pendahuluan dari zina. Contoh; mufakhadzah
(memasukkan penis di antara dua paha), atau memasukanya ke dalam mulut, atau
sentuhan-sentuhan diluar farji. Demikian pula perbuatan – perbuatan maksiat
yang lain yang merupakan pendahuluan dari zina dikenakan hukuman ta’zir.
Contohnya seperti berciuman, berpelukan, bersunyi-sunyi dengan wanita asing
tanpa ikatan yang sah. Perbuatan ini merupakan rangsangan terhadap perbuatan
zina dan harus dikenai hukuman ta’zir.
Dasar
hukumnya adalah (QS al Israa’:32);
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
“dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan merupakan suatu jalan yang
buruk”(Terjemahan Qur’an Surat al Israa’:32)
Meskipun pada umumnya para fuqaha telah sepakat
bahwa yang dianggap zina itu adalah persetubuhan terhadap farji manusia yang
masih hidup, namun dalam penerapanya pada kasus-kasus tertentu mereka
kadang-kadang berbeda pendapat. Berikut ini beberapa kasus dan pendapat ulama
mengenai hukumnya;
a. Wathi
Pada Dubur (Liwath)
Liwath atau homoseksual merupakan perbuatan yang
dilarang oleh syara’ dan bahkan merupakan kejahatan yang lebih keji daripada
zina. Liwath merupakan perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan fitrah
manusia dan sebenarnya berbahaya bagi kehidupan manusia yang melakukannya.
Homoseksual merupakan perbuatan kaum Nabi Luth yang
sudah mendarah daging. Nabi Luth sudah sering memperingatkan mereka tetapi
mereka tidak mengindahkanya, sehingga pada akhirnya mereka di hukum Allah swt
kecuali Nabi Luth dan para pengikutnya. Kisah ini diceritakan dalam Surat al
A’raaf ayat 80-84, dan Surat Huud ayat 77-82
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada
kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu
mengerjakan perbuatan fahisyah itu , yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk
melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah
kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah
mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka
adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan
dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang
tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.”(Terjemahan
Qur’an Surat al A’raaf : 80-84)
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para
malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena
kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit .” Dan
datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka
selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji . Luth berkata: “Hai kaumku,
inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada ALLAH
dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu
seorang yang berakal ?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa
kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu
tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya
aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung
kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata:
“Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka
tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga
dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di
antara kamu yang tertinggal , kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa
azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka
ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?”. Maka tatkala datang
azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami
balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,
(Terjemahan Qur’an Surat Huud:77-82)
(Terjemahan Qur’an Surat Huud:77-82)
b. Menyetubuhi
Mayat
Dalam kasus tindak pidana menyetubuhi mayat ini para
ulama juga berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat
dari mahzab Syafi’i dan Hambali, bahwa perbuatan tersebut tidak dianggap
sebagai zina yang dikenakan hukuman had. Dengan demikian, pelaku hanya dikenai
hukumn ta’zir. Alasanya bahwa persetubuhan dengan mayat dapat dianggap seperti
tidak terjadi persetubuhan, karena organ tubuh mayat sudah tidak berfungsi dan
menurut kebiasaanya hal itu tdak menimbulkan syahwat. Pendapat ini juga
pendapat Syi’ah Zaydiyah
Menurut pendapat yang kedua dari mahdzab Syafi’i dan
Hambali, perbuatan tersebut dianggap sebagai zina yang dikenai hukuman had
apabila pelakunya bukan suami istri. Sebabnya adalah perbuatan tersebut
merupakan persetubuhan yang diharamkan dan lebih berat daripada zina dan lebih
besar dosanya. Karena didalamnya terkandung dua kejahatan, yaitu zina dan
pelanggaran kehormatan mayat.
Imam Malik berpendapat apabila seseorang menyetubuhi
mayat, baik pada qubulnya maupun pada duburnya, dan bukan pula istrinya, maka
perbuatan itu dianggap sebagai zina dan pelaku dikenai hukuman had. Namun
apabila yang disetubuhinya itu istrinya sendiri yang telah meninggal, ia tidak
dikenai hukuman had. demikian pula apabila yang melakukanya itu seorang wanita
maka ia hanya dikenai hukuman ta’zir.
c. Menyetubuhi
Binatang
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
menyetubuhi binatang tidak dianggap sebagai zina, tetapi merupaka perbuatan
maksiat yang dikenai hukuman ta’zir. Demikian pula apabila itu dilakukan
seorang wanita terhadap binatang jantan, seperti kera atau anjing.
Di kalangan mahzab Syafi’i dan Hambali ada dua
pendapat. pendapat yang rajih (kuat) sama dengan pendapat Abu Hanifah dan Imam
Malik, sedangkan menurut pendapat yang ke dua, perbuatan tersebut dianggap
sebagai zina dan hukumanya adalah hukuman mati.
Dasar hukumnya adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w;
“barang siapa yang menyetubuhi binatang maka
bunuhlah ia dan bunuhlah pula binatang itu.”(Terjemahan hadits riwayat Ahmad,
Abu Dawud, dan Turmudzi)
Namun sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
hukumanya sama dengan zina. Apabila muhshan maka hukumanya rajam, apabila ia
ghair muhshan maka hukumanya di dera seratus kali dan diasingkan selama satu
tahun. Pendapat ini merupakan pendapat yang rajih (kuat) dalam mahzab Syi’ah
zaydiyah, sementara pendapat yang marjuh (lemah) sama dengan pendapat Imam
Malik dan Imam Abu Hanifah.
Selanjutnya apabila yang melakukan persetubuhan
dengan binatang itu seorang wanita maka menurut pendapat Maliki dan hanbali
hukumanya sama dengan pelaku laki-laki. Adapun menurut sebagian pendapat
Syafi’iyah, pelaku wanita hanya dikenakan hukuman ta’zir.
d. Persetubuhan
Dengan Adanya Syubhat
Adapun yang dimaksud dengan syubhat adalah; “sesuatu
yang menyerupai tetap (pasti) tetapi tidak tetap (pasti).”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa syubhat itu
adalah suatu peristiwa atau keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan berada di
antara ketentuan hukum, yaitu dilarang atau tidak. Dalam hubunganya dengan
persetubuhan (wathi’), yang dianggap sebagai syubhat adalah apabila terdapat
suatu keadaan yang meragukan, apakah persetubuhan itu dilarang atau tidak.
Misalnya adanya keyakinan pelaku bahwa wanita yang disetubuhinnya itu adalah istrinya
padahal sebenarnya bukan, dan keadaan waktu itu sedang gelap, dan wanita itu
berada di kamar istrinya. Keadaan ini merupakan syubhat dalam prsetubuhan
(wathi’) sehingga pelaku bisa dibebaskan dari hukuman had.
Golongan Syafi’i membagi syubhat ini kepada tiga
bagian sebagai berikut;
1) syubhat dalam objek
atau tempat
Contohnya adalah menyetubuhi isteri yang sedang haid
atau sedang berpuasa, atau menyetubuhi istri pada duburnya.
2) syubhat pada dugaan
pelaku
Contohnya menyetubuhi wanita yang tidur di kamar
seorang suami yang di sangka sebagai istrinya, padahal sebenarnya seorang tamu.
3) syubhat pada jihat
atau aspek hukum
Contohnya : nikah tanpa wali. Imam Abu Hanifah
membolehkanya, sedangkan ulama lain, seperti Imam Syafi’i tidak membolehkanya pelaku
tidak dikenakan hukuman had.
Golongan Hanafiyah membagi syubhat tersebut menjadi
dua bagian:
1) syubhat dalam
perbuatan
Contohnya adalah laki-laki yang menyetubuhi istrinya
yang sudah ditalak tiga tetapi masih dalam iddah.
2) syubhat dalam
tempat atau objek
Syubhat ini disebut syubhatul hukmiyah atau
syubhatul milk. Hanafiyah memberikan contoh delapan kasus jarimah zina yang
termasuk syubhatul mahal (syubhat dalam objek). Tujuh kasus diantaranya
berkaitan dengan persetubuhan terhadap jariyah atau hamba sahaya. Akan tetapi
karena zaman ini masalah sahaya telah dihapuskan maka hal itu tidak dibicarakan
disini. Adapun syubhat yang satu lagi adalah menyetubuhi istri yang ditalak
bain bil kinayah (dengan sindiran).
Dalam hubungan dengan syubhat dalam wathi’ karena
adanya akad ini, berikut ini akan dikemukakan contoh beberapa kasus sebagai
berikut.
a) wathul maharim
Adapun yang dimaksud dengan wathul maharim adalah
menyetubuhi wanita muhrim yang dinikahi Persetubuhan Dalam Pernikahan Yang
Batal
b) persetubuhan dalam
pernikahan yang diperselisihkan hukumnya
c) Persetubuhan karena
dipaksa
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada hukuman had
bagi wanita yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina).
Dalam hal ini keadaan tersebut dapat digolongkan kepada keadaan darurat. Dasar
hukumnya adalah ;
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ
بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ…
“…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya…”(Terjemahan Qur’an Surat al Baqarah [2]:173)
“…ALLAH telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…”(Terjemahan
Qur’an Surat al An’am [6]:119)
Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn
majah, Baihaqi. Nabi Muhammad bersabda;
“sesungguhnya Allah mengampuni umatku atas perbuatan
yang dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan apa yang dipaksakan atas nya”
e. Kekeliruan
Dalam Persetubuhan
Kekeliruan atau kesalahan dalam persetubuhan ini ada
dua kemungkinan, yaitu kekeliruan dalam persetubuhan yang mubah dan kekeliruan
dalam persutubuhan yang diharamkan.
[1]
kekeliruan dalam persetubuhan yang mubah
Apabila terjadi kekeliruan dalam persetubuhan yang
diharamkan maka pelaku tidak dikenai hukuman, karena ia tidak memiliki niat
untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Dasar hukumnya adalah;
“…Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf (keliru) padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu…”(Terjemahan Qur’an Surat al Ahzaab [33]:5)
Dasar hukum yang lain adalah hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh al Baihaqi dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Muhammad bersabda;
“sesungguhnya ALLAH swt mengampuni dari umatku atas
perbuatan yang dilakukan karena kesalahan, lupa, dan apa yang dipaksakan
atasnya”(Terjemahan hadits riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas)
Dengan adanya kekeliruan ini maka terdapatlah
syubhat dalam persetubuhan yang dapat mengakibatkan gugurnya hukuman had.
Contoh kekeliruan macam pertama ini adalah seperti seseorang yang menyetubuhi
seorang wanita yang disangka sebagai isterinya, karena wanita sedang berbaring
di kamar tidur suami, padahal ia seorang tamu atau saudara kembar istri.
[2]
kekeliruan dalam persetubuhan yang diharamkan
f. Perkawinan
Setelah Terjadinya Zina
Perkawinan yang menyusul setelah terjadinya zina
dianggap sebagai syubhat yang dapat menggugurkan hukuman had. Pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah menurut riwayat Abu Yusuf. Akan tetapi
menurut riwayat Muhammad bin Hasan, perkawinan tersebut tidak dianggap sebagai
syubhat, karena persetubuhan tersebut merupakan zina yang terjadi sebelum
timbulnya hak milik. Disamping itu, perkawinan itu tidak belaku surut, karena
dalam kasus ini tidak ada syubhat.
g. Utuhnya
Selaput Dara
Utuhnya selaput dara merupakan syubhat bagi hak
orang yang terbukti oleh saksi melakukan perbuatan zina.
Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa wanita
tersebut tetap harus dikenai hukuman had, karena pembuktian dengan saksi yang
menyatakan dilakukanya zina harus didahulukan untuk diterima sebagai bukti
daripada hasil pemeriksaan dokter yang menerangkan keutuhan selaput dara yang
seolah-olah menunjukan wanita tersebut tidak melakukan zina. Disamping itu
terdapat pula kemungkinan terjadinya persetubuhan tanpa merusak selaput dara.
2. Adanya
Kesengajaan atau Niat Melawan Hukum
Unsur yang kedua dari jarimah zina adalah niat dari
pelaku yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu
perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu yang disetubuhinya adalah wanita yang
diharamkan baginya. Dengan demikian apabila seseorang melakukan perbuatan
dengan sengaja, tetapi tidak tahu perbuatan yang dilakukanya haram maka ia
tidak dikenai hukuman had. Contoh; seorang yang menikahi wanita yang bersuami
yang merahasiakan statusnya kepadanya. Apabila dilakukan persetubuhan setelah
terjadinya pernikahan, pria itu tidak dikenai pertanggungjawaban (tuntutan)
selama ia benar-benar tidak tahu bahwa wanita itu masih ada ikatan dengan pria
lain. Contoh lain adalah wanita yang menyerahkan dirinya pada bekas suaminya
yang telah men-talak-nya denngan talak bain dan wanita itu tidak tahu bahwa
wanita itu telah di talak.
Apabila seseorang tidak tahu tentang fasid atau
batalnya suatu pernikahan yang mengakibatkan persetubuhanya bisa dianggap
sebagai zina, sebagian ulama berpendapat bahwa alasan tidak tahunya itu tidak
bisa diterima karena hal itu dapat mengakibatkan gugurnya hukuman had.
Disamping itu merupakan suatu kewajiban bagi setiap orang untuk mengetahui
setiap perbuatan yang dilarang oleh syara’.
C. HUKUMAN JARIMAH ZINA
Pada permulaan Islam, hukuman untuk tindak pidana
zina adalah dipenjarakan di dalam rumah dan disakiti, baik dengan pukulan di
badanya maupun dengan dipermalukan. Dasar hukumnya adalah firman Allah surat An
Nisaa’ ayat 15-16;
وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ
فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا
فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ
اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا
“Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka
berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.”{Al Qur’an Surat An Nisaa’ [4]:15-16}
Kemudian terjadi perkembangan dan perubahan dalam
hukuman zina, yaitu turunnya Surat An-Nuur ayat 2;
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”{Al Qur’an
Surat An-Nuur [24]:2}
Kemudian lebih diperjelas oleh Nabi Muhammad dengan
Sunah Qowliyah dan Fi’liah. Adapun Sunah Qowliyah yang menjelaskan hukuman zina
antara lain adalah sebagai berikut;
Nabi Muhammad bersabda;“ambilah dari diriku, ambilah
dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi
mereka (pezina). Jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama
satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”
Dengan
turunnya Surat An-Nuur ayal 2 dan penjelasan Rasulullah ini maka hukuman yang
tercantum dalam surat An Nisaa’ ayat 15-16 telah dihapus (mansukh).
Dengan
demikian hukuman untuk pezina berdasarkan ayat dan hadits diatas dirinci
menjadi dua bagian sebagai berikut:
a. dera
seratus kali dan pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum
berkeluarga
(ghair
muhshon).
b.
rajam bagi yang sudah berkeluarga
(muhshon) disamping dera seratus kali.
Akan tetapi bagi ulama yang tidak menerima nasikh
mansukh, surat An Nisaa’ 15-16 tersebut masih berlaku dan tidak di nasakh oleh
Surat An-Nuur ayat 2. Hanya saja penerapanya berbeda. Surat An Nisaa’ berlaku
bagi wanita yang melakukan hubungan intim dengan wanita (lesbi), sedangkan
surat An Nisaa’ ayat 16 bagi pelaku homosexual (liwath), sedangkan Surat
An-Nuur ayat 2 berlaku bagi laki-laki dan wanita yang berzina.
Macam Macam Hukuman
Zina
Dari ayat dan hadits yang dikemukakan diatas dapat
diketahui bahwa hukuman zina itu ada dua macam, tergantung pada keadaan
pelakunya apakah sudah berkeluarga (muhshon) atau belum berkeluarga (Ghair
muhshon).
a. Hukuman
untuk zina Ghair muhshon
Zina Ghair muhshon adalah zina yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk zina Ghair
muhshon ini ada dua macam, yaitu:
1) Hukuman
dera
Apabila jejaka dan gadis melakukan perbuatan zina,
mereka dikenai hukuman dera seratus kali. Hal ini didasarkan pada Qur’an Surat
An-Nuur ayat 2 dan hadits Nabi Muhammad;
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”{Al Qur’an
Surat An-Nuur [24]:2}
Hukuman dera adalah hukuman had yaitu hukuman yang
sudah ditentukan oleh syara’. Oleh karena itu hakim tidak boleh mengurang,
menambah, menunda pelaksanaanya atau menggantinya dengan hukuman yang lain.
Disamping telah ditentukan oleh syara’ hukuman hada adalah hak Allah sehingga
pemerintah maupun individu tidak boleh memberikan pengampunan.
2) Hukuman
pengasingan
Hukuman yang kedua untuk zina Ghair muhshon adalah
pengasingan selama satu tahun hukuman ini didasarkan pada hadits yang
diriwayatkan Ubadah bin ash Shomit.
“…dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan
selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan
rajam.”
Di samping hadits tersebut, jumhur ulama beralasan
dengan tindakan sahabat antara lain sayidina Umar dan Ali yang melaksanakan
hukuman dera dan pengasingan ini, dan sahabat sahabat yang lain tidak ada yang
mengingkarinya. Dengan demikian hal ini bisa disebut ijma’.
b. Hukuman
Untuk Zina Muhshon
Zina muhshon adalah zina yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami/beristri). Hukuman
untuk pelaku zina muhshon ini ada dua macam;
1)
Dera seratus kali
Hukuman dera seratus
kali didasarkan kepada al Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 dan hadis Nabi yang
dikemukakan di atas, sedangkan hukuman rajam juga di dasarkan kepada hadits
Nabi baik Qowliyah maupun Fi’liah.
2)
Rajam
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan
dilempari dengan batu atau sejenisnya. Hukuman rajam merupakan hukuman yang
telah diakui dan diterima oleh hampir semua fuqoha, kecuali kelompok Azariqoh
dari golongan Khowarij, karena mereka ini tidak mau menerima hadits, kecuali
yang sampai pada tingkatan mutawatir. Menurut mereka, hukuman untuk pezina
muhshon maupun Ghairu muhshon adalah hukuman dera seratus kali berdasarkan
firman Allah dalam Surat An-Nuur ayat 2.
“tiga kelompok yang Allah tidak mau melihat
dan membersihkanya, dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih, yaitu orang
tua yang berzina, raja yang banyak berdusta, dan pegawai yang
sombong.”(terjemahan hadits riwayat Muslim dan Nasa’i)
D. PEMBUKTIAN JARIMAH ZINA
Pelaku jarimah zina dapat dikenai hukuman “had”
apabila perbuatanya telah dapat dibuktikan. Adapun cara pembuktiannya ada tiga
macam cara:
1. Pembuktian
Dengan Saksi
a. Surat
An Nisaa’, ayat 15
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atausampai Allah memberi jalan lain kepadanya.”{Terjemahan Surat An Nisaa’
[4]:15}
b. Surat
An Nuur ayat 4
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik.”{Terjemahan Surat An Nuur [24]:4}
Syarat-syarat
saksi
1) Syarat-syarat
umum
Untuk dapat diterima persaksian, harus dipenuhi
syarat-syarat yang umum berlaku untuk semua jenis persaksian dalam setiap
jarimah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.
Ø balig
(dewasa)
Ø berakal
Ø kuat
ingatan
Ø dapat
berbicara
Ø dapat
melihat
Ø adil
Ø Islam
2) Syarat-syarat
khusus untuk jarimah zina
3) Disamping
syarat-syarat umum yang telah disebutkan, untuk persaksian dalam jarimah zina
harus dipenuhi syarat-syarat khusus. Syarat-syarat khusus ini adalah sebagai
berikut;
Ø laki-laki
Ø al-ishalah
Ø peristiwa
zina belum kedaluarsa
Ø pesaksian
harus dalam satu majelis
Ø bilangan
saksi harus empat orang
2. Pembuktian
Dengan Pengakuan
Pengakuan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk
jarimah zina, dengan syarat-syarat sebagai berikut;
a. Menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pengakuan harus dinyatakan sebanyak empat
kali, dengan mengqiaskanya pada empat orang saksi dan beralasan pada hadis
Ma’iz yang menjelaskan tentang pengakuanya sebanyak empat kali di depan
Rasulullah s.a.w bahwa dia telah melakukan perbuatan zina.
b. Pengakuan
harus terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan,
c. Pengakuan
harus sah atau benar, dan hal ini tidak mungkin timbul kecuali dari orang yang
berakal dan mempunyai kebebasan.
d. Imam
Abu Hanifah mensyaratkan bahwa pengakuan harus dinyatakan dalam sidang
pengadilan.
3. Pembuktian
Dengan Qorinah
Qorinah atau tanda yang dianggap sebagai alat
pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada wanita tidak
bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Disamakan dengan wanita tidak
bersuami, wanita yang kawin dengan anak kecil yang belum balig, atau orang yang
sudah balig tetapi kandunganya lahir sebelum enam bulan.
Dasar penggunaan qorinah sebagai alat bukti untuk
jarimah zina adalah ucapan sahabat dan perbuatanya. Dalam salah satu pidatonya
sayidina umar berkata:
“dan sesungguhnya rajam wajib dilaksanakan
berdasarkan kitabulloh atas orang yang berzina, baik laki-laki maupun perempuan
apabila ia muhshon, jika terdapat keterangan (saksi) atau terjadi kehamilan,
atau ada pengakuan. (Muttafaq Alayh)
E. PELAKSANAAN HUKUMAN JARIMAH ZINA
Apabila jarimah zina sudah bisa dibuktikan dan tidak
ada syubhat maka hakim harus memutuskanya dengan menjatuhkan hukuman had, yaitu
rajam bagi muhshon dan dera seratus kali ditambah pengasingan selama satu tahun
bagi pezina ghair muhshon.
1. Siapa
yang melaksanakan hukuman
Para fuqoha telah sepakat bahwa pelaksanaan hukuman
had harus dilakukan oleh khalifah (kepala negara) atau wakilnya (pejabat yang
ditunjuk). Hukuman had harus dilaksanakan secara terbuka di muka umum sesuai
dengan firman Allah dalam surat An Nuur ayat 2;
“…hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”{Terjemahan Qur’an Surat An Nuur
[24]:2}
2. Cara
pelaksanaan hukuman rajam
Hukum rajam adalah hukuman mati dengan cara
dilempari dengan batu atau benda benda lain. Menurut Imam Abu Hanifah lemparan
pertama dilakukan oleh para saksi apabila hukumanya dilakukan dengan saksi.
Setelah itu diikuti oleh Imam atau pejabat yang ditunjuknya dan diteruskan oleh
masyarakat. Namun ulama yang lainya tidak mensyaratkan demikian.
3. Cara
pelaksanaan hukuman dera (jilid)
Hukuman dera dilaksanakan dengan menggunakan cambuk,
dengan pukulan yang sedang sebanyak 100 kali cambukan. Disyaratkan cambuk
tersebut harus kering, tidak boleh basah, karena bisa menimbulkan luka.
Disamping itu juga disyaratkan cambuk tersebut ekornya tidak boleh lebih dari
satu. Apabila ekor cambuk lebih dari satu ekor, jumlah pukulan dihitung sesuai
dengan banyaknya ekor cambuk tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setelah mencermati apa yang penulis paparkan maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.
Dalam Hukum Islam,
persetubuhan yang di anggap sebagai zina adalah persetubuhan dalam farji
(kemaluan). Ukurannya adalah apabila kepala kemaluan (hasyafah) telah masuk ke dalam farji
walaupun sedikit. Juga dianggap sebagai zina walaupun ada penghalang antara
zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan ), selama
penghalangnya tipis yang tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.
2.
Zina merupakan perbuatan yang sangat dilarang oleh Islam, dan
dikategorikan dosa besar, kalau terbukti melakukannya dengan saksi 4 orang maka
akan menerima hukuman yang begitu berat baik di rajam maupun didera.sehingga kita
tidak diperbolehkan mendekatinya dengan berbagai cara,maupun motif apapun juga.
B. SARAN
B. SARAN
1.
Agar kita terhindar dari perbuatan zina, maka hendaknya kita berpegang
teguh keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, senantiasa bedoa serta
berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghindari hal-hal itu .
2.
Sosialisasi tentang hal-hal yang berkaitan tentang masalh jinazah zina
itu hendaknya selalu dilakukan baik oleh Ulama’,da’I,guru,perguruan tinggi
maupun seluruh umat Islam agar semua selalu menyadari dan mengerti tentang
jinazah zina itu sehingga dapat terhindar dri perbuatan kotor itu.
DAFTAR BACAAN
1. Muslich, Ahmad Wardi, Hukum
Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika, 2005
2. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah,
Juz II, Beirut, cet II, 1980.
3. RI, Depag , al-Qur’an dan
Tafsirnya, jilid VII, PT. Partja, Jakarta, 1986.
4.
Ali, Zainudin, Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika.
Jakarta : 2007
5.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar