Senin, 03 April 2017

MAKALAH PANDANGAN BEBERAPA IMAM MADZHAB TERHADAP TOHAROH

BAB I
PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan zaman nampaknya agama islam sedikit tergoyahkan pemikiran-pemikirannya tentang teori-teori ibadah dalam fiqih Ibadah. Dalam thaharah misalnya banyak sekali perbedaan yang mencolok antara satu madzhab dengan madzhab yang lainya, sampai terdapat pertengkaran yang bersifat argumental antara masing-masing madzhab, untuk itu saya  akan mencoba  menggambarkan perbedaan-perbedaan yang ada .

2.  Rumusan Masalah
      Adapun rumusan masalah dalam Makalah ini adalah:
1. Apakah devinisi thaharah yang mencakup wudlu dan mandi?
2. Bagaimana pandangan beberapa imam madzhab dalam thaharah?

3.  Tujuan Penyusunan Makalah
Ada beberapa tujuan dari penyusunan Makalah ini diantaranya:
1. Mengetahui devinisi umum dan ruang lingkup thaharah.
2. Mengetahui pandangan beberapa imam madzhab dalam thaharah

BAB II
PEMBAHASAN
1. THAHARAH
a. Pengertian
Thaharah adalah kebersihan dan terbebas dari segala jenis hadats dan najis. Dalam kitab Lisanul ‘Arab disebutkan thohura thuhran wa thoharotan kata ath thuhur berarti lawan dari haidl.
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan menurut istilah syara’ thaharah adalah bersih dari hadas  dan najis. Selain itu thaharah dapat juga diartikan mengerjakan pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis.                                        
Atau thaharah juga dapat diartikan melaksanakan pekerjaan dimana tidak sah melaksanakan shalat kecuali dengannya yaitu menghilangkan atau mensucikan diri dari hadas dan najis dengan air.

Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat. Cara menghilangkannya harus  dicuci dengan air suci dan mensucikan.
 b. Dalil-dalil tentang thaharah,
     yaitu:
ان الله يحب التوابين ويحب المتطهرين . (البقرة : 122)
Artinya : sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci. (Al-Baqarah : 122).
عن ابي سعيد الخدرى "الطهور شطْرُ الإيْمَان" (رواه المسلم)        
 Artinya: Kebersihan itu sebagian dari iman

عن مُصْعَب بن سَعْدٍ, قال: دخل عبد الله بن عمر على ابن سعوده وهو مريض فقال:
 الا تدعو الله لي, يا ابن عمر؟ قال: إنّي سمعتُ رسول الله صلى الله عليه وسلّم, يقول:
 لا تقبل الصلاة بغير طهورٍ, ولا صدقة منْ غلولٍ وكنت على البصرة.
Artinya:
dari mus'ab bin sa,id berkata: Abdullah bin umar pernah menjenguk ibnu amir yang sedang sakit. Ibnu amir berkata: “Apakah kamu tidak mau mendo’akan aku, hai ibnu umar?”. Ibnu umar berkata: “saya pernah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: “Shalat yang tanpa bersuci tidak diterima begitu pula sedekah dari hasil korupsi”. Sedang kamu adalah penguasa bashrah”.
c.     Tujuan thaharah
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah, diantaranya:
1.      Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
2.      Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba.
Nabi Saw bersabda:
 “Allah tidak  menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadas, sampai ia wudhu”, karena termasuk yang disukari Allah, bahwasanya Allah SWT memuji orang-orang yang bersuci : firman-Nya, yang  artinya : “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya”.(Al-Baqarah:122)
Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta pembersih diri dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam aktifitas ibadah seorang hamba.
Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan memiliki keutamaan-keutamaan yang dianugerahkan oleh Alloh di akhirat nanti. Thaharah juga membantu seorang hamba untuk mempersiapakan diri sebelum melakukan ibadah-ibadah kepada Alloh. Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Alloh, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba bisa siap untuk beribadah dan bisa terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudhu sebelum sholat karena wudhu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.

e.     Pembagian thaharah
Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar yaitu: Taharah Hakiki dan Taharah Hukmi.
1.      Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan,  pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh  dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat yang memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing tidak sah shalatnya. Karena ia tidak terbebas dari ketidak sucian secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibaadah ritual, caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya.bila najis itu ringan cukup dengan memercikan air saja, maka najis itu dianggap sudah lenyap, bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara, mencusikanya dengan air biasa hingga hilang warna najisnya, dan juga hilang bau najisnya dan hilang  rasa najisnya.
2.      Thaharah Hukmi.
الحكميه هي التى تجاوز محل ما ذكر فى غسل الأعضاء عن الحدث
فإنّ محل السبب الفرج. مثلا خرج منه خارج

Seseorang yang tidak batal wudhunya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu, bila ia ingin melakukan ibadah tertentu seperti shalat, thawaf dan lain-lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah membersihkannya  dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadas besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ibadah ritual. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan cara wudhu atau mandi janabah.
f.    Klasifikasi air dan penggunaanya dalam bersuci
            1.      Air mutlak (air yang suci lagi mensucikan)
Tidak boleh dan tidak sah mengangkat hadas dan menghilangkan najis melainkan dengan air mutlak.
Air mutlak itu ada 7 jenis, yaitu:
a.       Air hujan
b.      Air laut
c.       Air sungai
d.      Air sumur
e.       Air yang bersumber (dari mata air)
f.       Air es
g.      Air embun.
Ketahuilah tidak sah berwudu dengan fardhu, mandi wajib, mandi sunnat, menghilangkan najis dengan benda cair seperti cuka atau benda beku lainnya seperti tanah dalam bertayamum ..
Air mutlak mempunyai tiga sifat , yaitu :
1)      Tha’mun (Rasa)
2)      Launun (Warna)
3)      Rihun (Bau)
Dan kalau dikatakan air itu berubah maka yang dimaksudkan ialah berubah sifatnya, air mutlak itu terkadang berubah rasanya, warnanya, atau baunya sebab dimasuki oleh sesuatu benda dan benda yang masuk kedalam air itu kadang-kadang mukhlath dan kadang-kadang mujawir,
Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat sebagian mereka mengatakan “ Al-mukhtalat itu ada yang tidak dapat diceraikan dari air”.
Dan sebagian lagi mengatakan “Al-Mukhtalat itu barang yang tidak dapat dibedakan  air menurut pandangan mata”.
Kalau air berubah dengan sesuatu benda yang mujawir yang, cendana, minyak bunga-bungaan, kapur barus yang keras, maka air itu masih dianggap suci yang dapat dipakai untuk ber bercuci, sekalipun banyak perubahannya. Karena perubahan yang sesuatu mujawir itu, ia akan menguap jua. Karena itu air yang seperti ini dinamakan air yang mutlak, bandingannya air yang berubah karena diasapkan dengan dupa atau berubah baunya karena berdekatan dengan  bangkai. Maka air yang seperti ini masih dianggap air yang suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci, meskipun berubah sifatnya.
2.      Air suci tidak mensucikan
air yang berubah sebab bercampur dengan benda-benda suci lainnya (seperti teh, kopi, dan sirup),  Misalnya juga dengan sabun, tepung, dan lain-lain yang biasanya terpisah dengan air. Hukumnya tetap menyucikan selama kemutlakannya masih terpelihara, jika sudah tidak, hingga tidak dapat lagi dikatakan mutlak maka hukumnya ialah suci pada dirinya sendiri, tidak menyucikan bagi lainnya.
3.    Air Mutlak yang Makruh memakainya
 (air yang suci lagi mensucikan tetapi makruh memakainya)
Air yang makruh memakainya menurut hukum syara’ atau juga dinamakan kahariyatut tanzih ada delapan macam , yaitu:
1.      Air yang sangat panas
2.      Air yang sangat dingin
3.      Air yang berjemur
4.      Air di negeri Tsamud selain dari air sumur naqah
5.      Air di negeri kaum Luth
6.      Air telaga Barhut
7.      Air didaerah Babel dan
8.      Air ditelaga Zarwan
4.      Air musta’mal
Air musta’mal adalah air yang bekas dipakai (dipakai berwudhu atau  mencuci najis) atau air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis, kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya,maka airnya suci.
5.      Air  yang terkena najis
Air najis adalah air yang kemasukan benda najis dan air itu kurang dua kolah, atau air itu ada dua kolah tetapi berubah.
 Maksudnya air yang kemasukan benda najis didalamnya, bila air tersebut hanya tertulari bau busuk dari najis yang dibuang dipinggirnya maka air yang demikian ini tidak najis, sebab tidak bertemu langsung dengan najisnya. Dan yang dimaksud dengan berubah bila air yang banyak tersebut tidak berubah dengan adanya najis atau najisnya hanya sedikit dan hancur dalam air maka air yang demikian ini juga tidak najis. Dan seluruh air itu boleh digunakan menurut mazhab yang shahih.
v  PERBANDINGAN 4 MAZHAB
1. Tentang air banyak
Hanafi
Air banyak adalah jika air digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain tidak ikut bergerak.
Maliki
Air banyak dan sedikit sama saja. Yang penting jika air itu berubah salah satu dari sifat-sifatnya, maka air itu menjadi najis: jika tidak, ia tetap suci.
Syafi’i
Air banyak itu adalah dua kullah.
Hambali
Air banyak itu adalah dua kullah.
2. Air mengalir dan air tenang
Hanafi
Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak berhubungan dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya dengan bersentuhan dengan najis.
Maliki
Air sedikit tidak menjadi najis dengan hanya bersentuhan dengan najis, dan tidak ada beda antara air yang mengalir dan air yang tenang.
Syafi’i
Tidak membedakan antara air yang mengalir atau yang tenang yang memancar atau tidak, tetapi ditetapkan bedasarkan banyak dan sedikitnya air.
Hambali
Air yang tenang, bila kurang dari dua kullah menjadi najis walaupun hanya bersentuhan dengan najis, baik memancar ataupun tidak. Sedangkan air yang mengalir tidak menjadi najis jika bercampur dengan najis.
3. Air menyucikan najis
Syaf’i
jika air  yang banyak mengalami perubahan karena terkena najis,maka air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang terjadi.
Hambali
Jika air yang banyak  mengalami perubahan karena terkena najis ,maka air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang terjadi.
Maliki
Menyucikan air yang terkena najis itu dapat dengan cara mengguyurkan air muthlaq diatasnya hingga hilang sifat najis itu.
Hanafi
Air yang najis itu menjadi bersih dengan cara mengalirkannya .
4. Sisa air dalam bejana
Syafi’i
Sisa air anjing dan babi hukumnya najis. Sisa air dari bagal dan keledai itu suci tetapi tidak menyucikan.
Hanafi
Sisa air  anjing dan babi hukumnya najis. Sisa air dari bagal dan keledai suci tetapi tidak menyucikan.
Hambali
Sisa air anjing dan babi hukumnya najis. Sisa air dari bagal dan keledai suci tetapi tidak menyucikan.
Maliki
Sisa air yang diminum anjing dan babi, suci dan menyucikan serta dapat diminum .

b. Pembagian Thaharah
Thaharoh menurut syariat terbagi menjadi dua bagian, yaitu thaharoh dari hadats dengan cara berwudu dan mandi atau tayamum sebagai pengganti keduanya. Serta thoharoh dari hubuts.
2. WUDHLU
a. Dalil yang mewajibkan wudlu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ (المائدة 6)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (al-Maidah 6)
لا يقبل اللّه صلاة بغير طهور و لا صدقة من غلول (بخارى)
Artinya: Allah SWT tidak menerima shalat seseorang tanpa bersuci serta shadaqah dari tipuan”
حديث أبى هريرة رضي الله عنه: عن رسول اللّه ص م فال: إنّ اللّه لا يقبل صلاة أحدكم
 إذا أحدث حتّى يتوضّأ (بخرى و مسلم)
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah Radliallahu‘anhu, katanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats sehingga dia berwudlu”. (Bukhari dan Muslim)
    b. Siapa dan kapan diwajibkan wudlu itu
Yang diwajibkan berwudlu adalh Aqil dan Baligh. Adapun waktu yang mewajibkan wudhu adalah ketika hendak mendirikan shalat.
     c. Tata cara wudlu
وعن حمران انّ عثمان رضي اللّه عنه دعا بوضوء فغسل كفّيه ثلاث مرّات ثمّ تمضمض
 و استنشق و استنثر ثمّ غسل وجحه ثلاث مرّات ثمّ غسل يده اليمن حتّى ينتهي
 إلى المرفق ثلاث مرّات ثمّ اليسرى مثل ذلك ثمّ مسح برأسه ثمّ غسل رجله
 اليمن إلى الكعبين ثلاث مرّات ثمّ البسرى مثل ذلك ثمّ قال: رأيت رسول اللّه ص م
 توضّأ نحو وضوء هذا. (متّفق عليه)
Artinya: Dari Humran bahwa Utsman R.A. meminta air wudhu lalu ia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya lalu menghembuskannya, kemudian ia membasuh wajahnya tiga kali, kemudian ia mencuci tangan kanannya hingga siku tiga kali, kemidian yang kiri seperti itu, kemudian ia mengusap kepalanya, kemudian mencuci kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian berkata, “Aku melihat Rasulallah SAW berwudhu seperti wudhuku ini. (Muuttafaqu ilaihi)
Masalah 1: para ulama memperdebatkan “apakah niat termasuk syarat sah wudhu?”
Dalam hadits Rasulullah SAW : "إنّما الأعمال بالنّيات"yang artinya sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niatnya.
Imam Maliki, Syafi’I dan Ahmad mengatakan bahwa niat disini termasuk syarat sah wudhu alasannya adalah karena mereka memahami bahwa wudhu ini adalah ibadah mahdah sehingga membutuhkan niat.
Imam Hanafi mengatakan bahwa niat itu bukanlah syarat sah wudhu karena beliau berpendapat bahwa wudhu termasuk ibadah ghairu mahdah.
Masalah 2: Hukum membasuh tangan.
Menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik mengkatagorikan bahwa membasuh tangan itu adalah sunnah alasannya mereka memahami hadits dibawah ini tidak menunjukkan kepada perintah wajib
إذا إستيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناءحتّى يغسلها ثلاثا
 فإنّه لا يدرى أين باتت يده (متّفق عليه و هذا الللّفظ لمسلم)
Apabila bangun seseorang diantara kamu dri tidurnya maka janganlah ia selamkan tangannya di bejana sebelum ia cuci tiga kali karena ia tidak tau dimana telah bermalam tangannya. (Muttafaqun ‘Alaih, tetapi ini lafadzh muslim)
Imam Abu Dawud mengatakan bahwa membasuh tangan itu wajib jika orang tersebut baru terbangun dari tidurnya karena ia memahami hadits ini menunjkkan perintah wajib serta kata naum diartikan tidur secara umum. Baik siang atau malam.
Imam Ahmad membedakan antara tidur malam dengan tidur siang. Jika tidur malam berhukum wajib sedangkan tidur siang tidak wajib karena Ia memahami bahwa kata tidur dalam hadits tersebut diartikan dengan tidur malam saja.
Masalah 3: Hukum Istinsyak dan Madhmadhah.
Menuru Maliki, Syafi’I dan Hanafi dua perbuatan ini berhukum sunnah
Sedangkan menurut Abu Dawud dan Ibn Abu Lail kedua hal ini berhukum wajib
Dan menurut Abu Tsaur dan Abu Ubaidah Istinsyak berhukum wajib sedangkan madmadhah berhukum sunnah karena Rasulullah SAW berkata:
إذا توضّأ أحدكم فاليجعل في أنفسه ماء ثمّ الينثر
Artinya: Jika salah seorang diantara kamu berwudhu maka masukkanlah air di dalam hidungmu lalu keluarkan
Mereka memahami bahwa istinsyak hanyalah merupakan contoh dari Rasul sedangkan madmagha adalah contoh sekaligus perintah berdasarkan dalil di atas.
Masalah 4: Menyentuh
Syafi’i: kalau orang yang berwudlu menyentuh wanita lain tanpa ada batas, maka wudlunya batal, tapi kalau bukan wanita lain seperti saudara wanita, maka wudlunya tidak batal.
Hanafi: wudlu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh yang sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Syafi’I dan Hambali: menyentuh itu dapat membatalkan wudlu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki: ada hadits yang mereka riwayatkan yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan, tapi jika menyentuh dengan belakangnya, maka tidak membatalkan wudlu.
     d.  Hal-hal yang membatalkan wudlu
Semua yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum. Karena tayamum adalah pengganti wudhu.
عن أنس ابن مالك قال: كان أصحاب رسول اللّه ص م على عهده ينتظر العشاء
حتّى تخفق رئوسهم ثمّ يصلّون و لا يتوضّئون.
 (أخرجه أبو داود و صحّحه الدّار قطنيّ و أصله فى مسلم)
Artinya: Dari Anas bin Malik ia berkata, “Para sahabat Rasulullah SAW pada masa beliau, menunggu shalat isya hingga kepala mereka mengangguk-angguk kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu lagi. (Abu Dawud dan diShahihkan oleh Ad-Darul Qathni dan asalnya terdapat dalam Sahih Muslim)
Terdapat ikhtilaf yang berkaitan dengan hadits yang terdapat diatas, yaitu mengenai masalah tidur itu sendiri.
Adapun perbedaan ikhtilaf itu adalah :
Pertama, bahwa tidur itu muthlak membatalkan wudlu dalam kondisi apapun, berdasarkan dari hadits Shafwan bin Assal. Dimana dalam hadits tersebut dikatakan bahwa Beliau menjadikan tidur secara muthlak, seperti buang air besar dan buang air kecil dalam membatalkan wudlu. Sedangkan, dengan redaksi bagaimanapun diriwayatkan tidak terdapat keterangan bahwa Rasulullah Saw. membiarkan mereka atas hal itu, dan Beliau tidak melihat mereka. Dengan demikian maka hal itu adalah perbuatan sahabat yang tidak diketahui bagaimana ia terjadi, sedang yang dapat dijadikan hujjah hanyalah ucapan, perbuatan, atau yang dibiarkan oleh Rasulullah Saw.
Kedua, bahwa tidur tidak membatalkan wudlu secara muthlak berdasarkan hadits yang telah disebutkan oleh Annas dan cerita tidurnya sahabat atas sifat yang terjadi pada mereka. Seandainya tidur membatalkan wudlu,niscaya Allah Swt. tidak akan membiarkan mereka atas hal itu dan akan menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw. berekenaan dengannya,
Ketiga, bahwa tidur membatalkan semuanya, hanya saja dimaafkan tidur dengan dua kali anggukan meskipun berturut-turut, dan beberapa anggukan secara terpisah, ini adalah Madzhab Hadawiyah. Al Khafaqah adalah miringnya kepala karena kantuk, dan batasan satu anggukan yaitu kepala tidak tegak hingga bangun. Barang siapa kepalanya tidak miring dimaafkan baginya sekitar satu anggukan yaitu hanya sekedar condongnya kepala hingga dagu sampai ke dada. Hal ini diqiyaskan atas tidur satu anggukan. Mereka memahami hadits Annas atas kantuk yang tidak menghilangkan kesadaran, pendapat ini tidak diragukan lagi kejauhannya.
Keempat, bahwa tidur tidak membetalkan wudlu dengan sendirinya tetapi hanyalah penyebab batalnya wudlu, maka jika tidur dengan duduk dalam posisi tenang maka tidak membatalkan dan jika tidak maka dapat membatalkan. Ini adalah madzhab Imam Syafi’i. Ia berdalil dengan hadits Ali Radhiyallalu ‘anhu :
Artinya : “ Mata adalah pengikat dubur, maka barang siapa yang tidur hendaklah ia berwudlu.”
Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi, akan tetapi pada sanadnya ada perawi yang tidak dapat dijadikan hujjah, yaitu Baqiyah bin Al Walid, ia meriwayatkan dengan ungkapan ‘an, ia menjadikan hadits Anas bagi tidur dalam posisi tegak, untuk memadukan dua hadits tersebut dan membatasi hadits Shafwan dengan hadits Ali ra ini. Ia berkata, “ Makna hadits Ali ra bahwa tidur adalah penyebab keluarnya sesuatu tanpa terasa, maka dengan itu, tidur membatalkan wudlu dengan sendirinya.
Kelima, jika tertidur dalam posisi orang yang sedang shalat, ruku’, sujud, ataupun berdiri maka wudlunya tidak batal, baik dalam shalat maupun dikuar shalat. Maka jika tertidur dalam keadaan berbaring atau diatas tengkuknya, wudlunya batal berdasarkan hadits ,”Apabila seorang hamba tertidur dalam sujudnya, Allah membanggakannya dihadapan para malaikat, Dia berkata, “Hamba-Ku, ruhnya di sisi-Ku, dan tubuhnya sujud di hadapan-Ku.”
Keenam, bahwa batal, kecuali orang yang sedang ruku’ atau sujud.
Ketujuh, tidur tidak batal ketika dalam shalat.
Kedelapan, tidur tidak membatalkan wudlu jika sedikit, tetapi jika tidur nyenyak maka membatalkan wudlu.
      e. Perbuatan yang disyaratkan untuk berwudlu
          Menyentuh Al-Qur’an
Menurut Imam Syafi’I, imam Malik, dan Abu Hanifah, bahwasannya berwudlu itu wajib bagi yang akan menyentuh Al-Qur’an.
Sedangkan Ahlu Dzohir berpendapat bahwa boleh menyentuh Al-Qur’an tanpa berwudlu terlebih dahulu. Sebabnya adalah dalam mengartikan kata muthahharuun, apakah bani adam ataukah malaikat. Dan apakah khobar tersebut untuk melarang atau tidak.     
3.   MANDI
Mandi terbagi menjadi 2 bagian yaitu mandi ‘urfi yaitu mandi sebagaimana umumnya dilakukan setiap orang dalam rangka membesihkan badannya untuk menghilangkan kotoran dan keringat yang menempel. Sedangkan mandi syar’I adalah salah satu bentuk bersuci/thaharah yang wajib dilakukan karena hal-hal tertentu yang ditetapkan syariah.
وإن كنتم جنباَ فاطهروا
Hal-hal yang mewajibkan mandi
a. Keluarnya darah perempuan:
Ada 3 macam darah perempuan yang keluar serta mewajibkan seseorang mandi besar yaitu:
- Haidl: darah yang keluar setiap bilan secara wajar
- Isthadhah: darah penyakit
- Nifas: dara yang keluar setelah melahirkan
b. Bersetubuh
عن أبى سعيدالحدريّ رضي الله عنه قال رسول الله صلّ الله عليه وسلم:"الماء من الماء
"(رواه مسلم)
Dari Abu said Alkhudri Radiyalahu Anhu, dia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wai ssallam bersabda ‘air itu dari air’” (HR. Muslim lafadznya dari Albukhori)
Masalah 1: Tata cara Wudhu
حديث عائسة قالت:كان رسول الله صلّ الله عليه وسلم إذاإغتسل من الجنابة يبدأ
 فيغسل بيديه ثمّ يفرغ بيمينه على شماله فيغسل فرجه، ثمّ يتوضأ وضوءه للصلاة
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan syarat mandi serta anggota badan yang menjadi rukun mandi. Hal yang menjadi perbedaan adalah apakah membersihkan badan dengan cara menggoskan tangan keseluruh tubuh itu wajib atau dicukupkan dengan menyiramkan air keseluruh tubuh saja tanpa menggosokan tangan? Mayoritas ulama dan Imam sepakat akan hal ini. Tetapi sebagian lain tidak. Perbedaan pandangan di kalangan ulama ini timbul dikarenakan ada beberapa ulama yang mengqiyaskan mandi dengan wudlu sehingga berwudlu sebelum mandi tidaklah wajib dilakukan tetapi mennggosok anggota tubuh adalah wajib. Tetapi ada pula pandangan lain yang tidak mengqiyaskan mandi dengan dengan wudlu sehingga mandi dicukupkan dengan mengguyurkan air saja keseluruh tubuh tanpa menggosoknya. Keterangan ini berdasarkan hadist ummu Salamah tatkala ia bertanya pada rasulullah tentang mandi janabatnya dan rasul menjawab “cukuplah bagimu mengguyurkan air sebanyak 3 siangan keatas kepalamu” dan istilah ini disebut iisqootuddalki
                  Masalah 2: Pelafalan niat.
Hal ini pun sama halnya dengan ikhtilaf talafudz dalam berwudlu. Imam malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad serta Abu tsauri dan Daud berpendapat bahwa niat adalah syarat sahnya mandi. Sedangkan Abu haifah membolehkan mandi tanpa talaffudz niat.
Selain itu perihal berkumur dan mmebasuh lubang hidung juga dipandang berbeda oleh para ulama sebagaimana dipandang berbeda dalam rukun wudlu. Malik dan Syafi’I tidak menganggap kedua hal tersebut sebagai rukun mandi. Sedangkan abu hanifah menjadikannya dalam sebagai rukun.
4. TAYAMUM
a)      Pengertian tayamum
Menurut bahasa tayamum adalah menyengaja. Sebagaimana firman allah :

وَلاَ تَيَمَّمُواْ الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ (البقرة : 267 )
Dan jangalah kamu bermaksud sengaja ( memilih )yang buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya (Qs. Al-baqarah 267).
Sedangkan menurut istilah tayamum adalah menyengaja menggunakan tanah untuk mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat supaya diperbolehkannya shalat dan ibadah yang lain.
Pengertian lain mengenai tayamum secara istilah adalah mengusap muka dan kedua tangan dengan menggunakan debu yang mensucikan menurut cara yang khusus.
b)      Dasar diberlakukannya tayamum
Pensyari’atan tayamum itu terdapat dalam al-qur’an hadits dan ijma’. Adapun ketetapan yang terdapat dalam al-qur’an adalah firman allah:
وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء
 فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ
 لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ (المائدة : 6)
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air besar atau menyentuh perempuan lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih, suci); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” (Q.S Al-maidah 5:6)
Ayat suci ini menunjukkan bahwa tayamum itu disyari’atkan kepada manusia disaat mereka tidak mendapatkan air atau karena tidak mampu menggunakan air tersebut.
Hikmah disyari’atkannya tayamum adalah ruhshah dari allah berupa keringanan dalam menjalankan ibadah, hal ini sesuai dengan fungsi dari syari’at itu sendiri yaitu menghilangkan beban bagi pengikutnya, dan sesuai firman allah sebagai berikut :
يريدالله بكم اليسر  ولا يريد بكم العسر
“Allah menghendaki kamu sekalian kemudahan, tidak menghendaki kamu kesulitan”
Sedangkan dalil diberlakukannya tayamum dalam hadits adalah yang diriwayatkan oleh imam ahmad:
عن جابر رضي الله أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :
(أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي :نصرت باللرعب مشيرة شهر ,
وجعل التراب لي طهورا . فأيم رجل أدركته الصلاة فليصل) روه أحمد
Kemudian semua muslimin berpendapat bahwa tayamum itu disyari’atkan sebagai fungsi dari pengganti wudhu dan mandi pada waktu tertentu.
c)      Sebab diperbolehkannya tayamum
Setiap sesuatu perkara ataupun kejadian itu pasti mempunyai sebab, dalam islam namanya hukum wadz’i atau bisa disebut hukum sebab akibat. Begitupula dengan tayamum, tayamum disyari’atkan mempunyai beberapa sebab diantaranya adalah:
1.      Apabila tidak ada air
Apabila tidak ada air untuk bersuci. Dalam artian tidak mendapatkan air sama sekali, atau ada air akan tetapi tidak mencukupi untuk dibuat bersuci. Pendapat ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh imran bin hashin r.a.
حدث عمران بن حصين رضي الله قال : كنا مع رسولالله صلى الله عليه وسلم
في سفر فصلى بالنس فاءذاهو برجل معتزل قال : "ما منعك أن تصلي ؟"
قال اصابني جنابة, ولا ماء. قال "عليك باصعيد فإنه يكفيك"رواه الشيخان
Menurut golongan Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa apabila ia mendapatkan air yang tidak cukup dipakai bersuci maka ia wajib menggunakan sekedarnya untuk sebagian anggota wudhu’kemudian hendaknya bertayamum untuk anggota yang lainnya.
Menurut madzhab Hanafi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan ia sehat( tidak sakit ), maka ia tidak boleh bertayamum dan tidak boleh pula shalat kalau tidak ada air.
 ( Al-bidayah wa Al- Nihayah, Ibnu Rusyd, jilid I, halaman 63, cetakan tahun 1935, dan juga Al-mughni, Ibnu Qudamah, jilid I, halaman 234, cetakan ketiga ). Madzhab Hanafi mengemukakan pendapat itu berdasarkan ayat 8, surat Al-Maidah:
“......Bila kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau salah seorang di antara kamu dari tempat buang air besar (jamban) atau menyentuh perempuan (menyetubuhinya) , lalu kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah......”
Ayat ini menunjukkan bahwa tidak adanya air saja tidak cukup untuk dijadikan alasan untuk tayamummelainkan harus ada alasan lain selain tidak ada air yaitu musafir atau sakit. Jadi menurut madzhab ini apabila tidak ada air dan dalam keadaan sehat maka tidak wajib sholat.
Sebagian besar madzhab sepakat bahwa apabila tidak ada air maka wajib bertayamum, baik itu sehat ataupun sakit, mukim ataupun musafir. Berdasarkan hadits mutawatir :
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " أن الصعيد طهور مسلم, وإن لم يجد الما، عشر
 سنين, فإذا وجد الماء فليمسه بشرته فإن ذالك خير" رواه أحمد و الترمذي
“tanah yang baik itu dapat sebagai penyuci orang islam, sekalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun.”
Menurut Malikiyah mereka berkata bahwa seorang yang tidak mendapatkan air, yang bukan dalam bepergian dan dalam keadaan sehat itu tidak boleh untuk melakukan shalat kecuali shalat nafilah terkecuali apabila shalat nafilahnya itu mengikuti yang fardhu. Berbeda halnya dengan orang musafir dan orang yang sakit.
2.       Tidak mampu menggunakan air
Tayamum diperbolehkan ketika tidak mampu menggunakan air atau dalam keadaan membutuhkan air. Misalnya ia mendapatkan air yang cukup untuk dipakai bersuci, akan tetapi ia tidak mampu menggunakanya, ataupun ia mampu menggunakan air tersebutakan tetapi ia membutuhkan untuk minum dan lain sebagainya.
3.       Ketika dalam keadaan sempitnya waktu shalat
Ketika mampu menggunakan air untuk wudhu’ ataupun mandi akan tetapi takut jika waktu shalat itu habis hanya untuk mencari air.
4.       Ketika adanya bahaya
Ketika ada air untuk wudhu’ dan mandi akan tetapi dia takut terhadap sesuatu yang membahayakan harta dan jiwanya. Ketika air sangat dingin dan dia menyangka adanya bahaya ketika menggunakan air tersebut
   
D.  Debu yang digunakan tayamum
Pada dasarnya imam madzhab sama dalam menentukan alat tayamum yaitu tanah yang suci, akan tetapi dalam menentukan sifat dan hakikat tanah yang suci “ash-shaid” , mereka  berbeda pendapat. Dalil yang menunjukkan debu yang digunakan untuk tayamum adalah firman allah surat An-Nisa’ ayat 42
......فتيمموا صعيدا طيبا.....
"…..bertayamumlah kalian semua dengan debu yang suci”
Syafi’iyah dan Hanabilah; maksud dari “ash-shaid” adalah “at-turab” (tanah). Oleh karena itu , tidak boleh bertayamum kecuali dengan tanah yang suci atau dengan pasir berdebu.
Hanafiah dan Malikiyah; “ash-shaid” adalah “al-ardh” (tanah). Oleh karena itu, boleh bertayamum dengan tanah dan segala macam bagiannya, walaupun dengan batu yang tidak bertanah dan pasir yang tidak berdebu.
Malikiyah menambahkan; boleh bertayamum dengan apa saja yang berkaitan dengan bumi, seperti tumbuh-tumbuhan.
e.  Tata cara tayamum
Pada dasarnya inti dari tayamum adalah mengusap wajah dan tangan, akan tetapi dalam menentukan syarat rukunya para imam madzhab berbeda pendapat. Seperti yang dikemukakan imam-imam berikut ini :
Malikiyah : rukun tayamum menurut mereka ada empat :
1.      Niat.
2.      Menepakan tangan yang pertama.
3.      Meratakan wajah dan kedua tangan dengan debu.
4.      Muwalat.

Hanabilah : mereka berpendapat bahwa rukun tayamum adalah :
1.      Mengusap mengusap seluruh bagian wajah selain yang ada di dalam mulut  dan di dalam telinga, dan selain di bawah rambut (jenggot) yang tipis.
2.      Mengusap kedua tangan hingga di kedua pergelangan.
3.      Tertib.
4.      Muwalat untuk tayamum yang disebabkan karena hadats kecil.
Syafi’iyah : mereka berpendapat bahwa tayamum itu ada tujuh yaitu :
1.      Niat
2.      Mengusap wajah
3.      Mengusap kedua tangan sampai kedua siku
4.      Tertib
5.      Memindahkan debu pada anggota tubuh
6.      Tanah yang mensucikan dan berdebu
7.      Sengaja memindahkan debu tersebut pada anggota tayamum

Hanafiah : mereka berpendapat rukun tayamum itu ada dua yaitu :
1.    Mengusap
2.    Dua kali menepak pada debu
Niat dan ini didalam tayamum mempunyai cara khusus yang dapat dirinci menurut pendapat berbagai madzhab.
Hanafiyah dan Hanabilah
mereka berkata bahwa niat merupakan syarat didalam tayamum bukan sebagai rukun.
Malikiyah :
 jikaiaberniatuntukmenghilangkanhadatssaja, maka tayamum itu batal, karena tayamum-menurutmereka- tidak dapat menghilangkan hadats.
Hanafiyah :
Mereka berkata bahwa niat tayamum yang sah digunakan untuk shalat itu disyaratkan hendaknya orang tersebut berniat dengan salah satu dari tiga hal berikut :
1. Berniat untuk bersuci dari hadats yang ia lakukan.
2. Berniat agar diperbolehkannya shalat.
3. Berniat untuk melakukan suatu ibadah maqshudah (ibadah yang sengajadiperintahkan)
Syafi’iyah :
Berpendapat bahwa seorang yang bertayamum wajib berniat agar boleh melaksanakan shalat dan yang semacamnya.
Imam Syafi’i merinci tentang niat tayamum sebagaiberikut :
Apabila berniat untuk melakukan ibadah fardhu, maka tayamum tersebut juga bisa  untuk ibadah nafilah dan sunah.
Apabila berniat untuk melakukan ibadah nafilah, maka tayamum tersebut tidak bias digunakan untuk ibadah fardhu.

f.   Ibadah-ibadah yang diperbolehkan menggunakan tayamum
Tayamum adalah pengganti dari wudhu’ dan mandi ketika tidak  adanya air, maka diperbolehkan semua ibadah yang cara bersucinya dengan wudhu’ dan mandi, seperti shalat, memegang qur’an dan lainnya. Tidak disyaratkan masuknya waktu pada ibadah shalat, dan tayamum itu berlaku untuk satu kali ibadah, baik itu nawafil (shalat sunah yang mengiringi shalat fardhu)  ataupun shalat wajib.
Pada pembahasan ini, ulama’ berbeda pendapat tentang penggunaan tayamum untuk shalat. Menurut pendapat Malikiyah yang masyhur, satu kali tayamum berlaku untuk dua kali shalat fardhu. Menurut Abu Hanifah boleh menjamak beberapa shalat wajib dengan satu kali tayamum.
Menurut imam Syafi’i, Malliki, dan Hambali: tidak boleh mengerjakan dua shalat fardhu dengan satu tayamum, baik bagi orang yang musafir ataupun yang mukim. Hukum tayamum sama dengan hukum wudhu’, yaitu bisa menjadikan sahnya melakukan ibadah dengan tayamum, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar r.a
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : " أن الصعيد طهور مسلم, وإن لم يجد الما، عشر سنين, فإذا وجد الماء فليمسه بشرته فإن ذالك خير" رواه أحمد و الترمذي
g. Beberapa hal yang membatalkan tayamum
Para fuqaha’ bersepakat bahwa hal yang membatalkan tayamum adalah sebagai berikut :
1.      Perkara yang membatalkan wudhu’.
2.      Menemukan air diluar waktu shalat.
3.      Murtad. (mauquf)
Madzhab hanabilah menambahkan perkara yang membatalkan tayamum, yaitu keluarnya waktu shalat.
Madzhab syafi’iyah berpendapat mengenai hal yang membatalkan tayamum yaitu :
1.      Terjadinya riddah (keluar agama Islam), walaupun dalam bentuknya saja, seperti murtadnya anak kecil (belum cukup usia).

2.      Hilangnya udzur yang memperbolehkannya tayamum. Sebelum  ia menyempurnakan takbiratul ihramnya.

2 komentar:

  1. DAFTAR PUSTAKA KOK TIDAK TERSEDIAH DAN REFERENSI FOOTNOTE NYA

    BalasHapus
  2. Harrah's Casino & Hotel - Joliet - Jeopardy
    › casino-and-hotel- 정읍 출장마사지 김해 출장안마 › casino-and-hotel- Harrah's Casino & 남양주 출장안마 Hotel · Located in Joliet, Harrah's Casino 대전광역 출장마사지 & Hotel is conveniently situated in the area of historic Chicago. · Harrah's 용인 출장마사지 Joliet Casino Hotel

    BalasHapus

BAB III KONDISI UMUM

BAB III KONDISI UMUM KUA KECAMATAN WARUNGASEM KABUPATEN BATANG A.     Kondisi Objektif KUA Kecamatan Warungasem KUA K ec. War...