Senin, 03 April 2017

MAKALAH SUMBER AJARAN AGAMA ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai agama terakhir, Islam diketahui memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan agama-agama yang datang sebelumnya. Melalui berbagai literatur yang berbicara tentang Islam dapat dijumpai uraian menge­nai pengertian agama Islam, dan juga sumber hukum islam dan ajarannya serta cara untuk memahaminya. Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam itu perlu dikaji secara seksama, sehingga dapat menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif. Hal ini penting dilakukan, karena kualitas pemahaman keislaman seseorang akan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan keislaman yang bersangkutan. Kita barangkali terikat terhadap kualitas keislaman seseorang yang benar-benar komprehensif dan berkualitas. Untuk itu uraian di bawah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman tentang Islam kususnya tentang sumber ajaran Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN AGAMA ISLAM
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi bahasa dan sisi istilah. Kedua sisi pengertian tentang ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari segi bahas, Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Kata Islam dari segi bahasa mengandung arti juga patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari keselamatan dan keba­liagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
Adapun pengertian Islam dari segi istilah akan kita dapati rumusan yang berbeda-beda dari pendapat ahli. Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai agama), adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia. Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam ada­lah agama perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti nyata, bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh nabi Allah, sebagaimana tersebut pada beberapa ayat kitab suci Al-quran, melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya kepada undang-undang Allah, yang kita saksikan pada alam semesta.
 Dengan demikian, secara istilah Islam adalah nama bagi suatu agama yang berasal dari Allah Swt. Nama Islam demikian itu memiliki perbedaan yang luar biasa dengan nama agama lainnya. Kata Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang tertentu atau dari golongan manusia atau dari suatu negeri. Kata Islam adalah nama yang diberikan oleh Tuhan sendiri.

B.   SUMBER – SUMBER AJARAN ISLAM
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt. yang penjabarannya dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.
Dalam perkembangannya, Islam mengalami masa-masa dimana dihadapkan pada situasi dan kondisi kemanusian yang yang berkembang juga. Saat yang bersamaan banyak muncul fenomena permasalahan-permasalahan baru dimana banyak sekali persolalan itu belum pernah terjadi pada masa terdahulu. Akibatnya perlu adanya sandaran hukum yang jelas, atas dasar itulah lahir ijtihad sebagai upaya para ulama’ ( mujtahid ) dalam mencurahkan segala kemampuannya untuk memutuskan suatu ketentuan syar’i ( hukum Islam ) guna menjawab fenomena yang muncul itu .

1.      Al-Qur’an
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Alquran baik dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi'i mengatakan bahwa Alquran bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. AI-Farra berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata qaranih yang berarti kaitan, karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Alquran itu satu sama lain saling berkaitan. Al-Asy'ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Alquran diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain, karena surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.
Adapun pengertian Alquran dari segi istilah dapat dikemukakan berbagai pendapat berikut ini.Pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani. Menurutnya Alquran adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. mulai dari awal surat Al-Fatihah, sampai dengan akhir surat Al-Nas. Abdul Al-Wahhab AI-Khallaf menyatakan bahwa, Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah, melalui Jibril dengan menggunakan lafal bahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya, ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhir dengan surat Al-Nas, disampaikan secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan serta terjaga dari perubahan dan pergantian.
Dari beberapa kutipan yang di kemukakan para ulama tersebut kita dapat meyimpulkan bahwa Alquran adalah kitab suci yang isinya mengandung firman Allah, turunnya secara bertahap melalui malaikat Jibril, pembawanya Nabi Muhammad Saw., susunannya dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat Al-Nas, bagi yang membacanya bernilai ibadah, fungsinya antara lain menjadi hujjah atau bukti yang kuat atas kerasulan Nabi Muhammad Saw., keberadaannya hingga kini masih tetap terpelihara dengan baik.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul studi tentang Alquran baik dari segi kandungan ajarannya yang menghasilkan kitab-kitab tafsir yang disusun dengan menggunakan berbagai pendekatan, maupun dari segi metode dan coraknya yang sangat bervariasi sebagaimana yang kita jumpai saat ini. Sehubungan dengan itu terdapat pula para ulama yang secara khusus mengkaji metode menafsirkan Alquran yang pernah digunakan para ulama, mulai dari metode tahlili (analisis ayat per ayat) sampai dengan metode maudu'i atau tematik.
Selain itu ada pula yang meneliti Alquran dari segi latar belakang sejarah dan sosial mengenai turunnya yang selanjutnya menimbulkan apa yang disebut Ilmu Asbab al-Nuzul. Dalam pada itu ada pula yang mengkhususkan diri mengkaji petunjuk cara membaca Al-quran yang selanjutnya menimbulkan ilmu qira'at termasuk pula Ilmu Tajwid. Dan ada pula ulama yang mengkaji Al-quran dari segi sejarah penulisannya, nama-namanya, dan masih banyak lagi. Semua itu dilakukan para ulama dengan maksud agar ummat Islam dapat mengenal secara menyeluruh berbagai aspek yang berkenaan dengan Alquran.
Al-Qur’an sebagai kitab suci dijadikan sebagi pedoman hidup umat islam yang pertama,maka memiliki banyak fungsinya, diantaranya adalah :
a.       Sebagai way of life ( jalan kehidupan ) bagi seluruh umat manusia untuk memecahkan berbagi persoalan
b.      Sebagai sumber hukum tertinggi untuk memberikan keputusan terakhir mengenai masalah yang dihadapi manusia
c.       Sebagai petunjuk (Al- Huda) bagi kehidupan manusia disamping sunnah Rasul yang merupakan yang kedua yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia.
d.      Sebagai pembeda (Al-Furqan) antara yang hak dan yang batil.

2.      Al-Hadist
Menurut bahasa hadist berasal dari “Hadatsa –yuhdistu- hadtsan- wa hadi-tsan” kata tersebut mempunyai arti yang bermacam-macam, yaitu :
a.       Aljadid minal Asya : artinya sesuatu yang baru. Kata tersebut lawan dari kata al-qodim artinya sesuatu yang telah lama, kuno, klasik. Pengunaan dalam arti demikian kita temukan dalam ungkapan hadits albina dengan arti jadid al bina artinya bangunan baru.
b.      Al-khobar : artinya maa ya kaddasa bihi wayaqol, artinya sesauatu yang dibicarakan atau diberitakan dialihkan dari seseorang ke orang lain.
c.       Al-Qorib artinya pada waktu yang dekat, pada waktu yang singkat, pengertian ini digunakan pada ungkapan qorib al-‘ahd bi a- islam yang artinya orang yang baru masuk islam.
Sebagian ulama yang menyatakan adanya arti “baru” dalam kata hadits kemudian mereka menggunakan kata tersebut sebagai lawan kata qodim (lama) dengan maksud qodim sebagai kitab Alloh, sedangkan yang “baru” yaitu apa yang didasarkan kepada belia nabi muhammad SAW. Syaikh islam ibnu hajar berkata : “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara’ adalah apa yang disandarkan kepada nabi SAW, dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al qur’an adalah qodim yang dimana terdapat di dalam syarah al bukhori.
Secara terminologi al Hadits menurut Muhadditsin (ahli hadist), sinonim dengan sunnah. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rosululloh SAW sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rosul akan tetapi bila disebut kata hadits, umumnya dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rosul setelah kenabian, baik serupa sabda, perbuatan maupun taqrir. Hadits dan sunnah merupakan dua hal yang identik. Keduannya sehingga sering digunakan secara bergantian untuk menyebut hal ikhwal tentang Nabi Sholallohu ‘alahi wa sallam. Akan tetapi kajian terhadap berbagai literature awal menunjukkan sunnah dan hadits merupakan dua hal yang berbeda.
Hadits  telah digunakan sebagai dasar dalam pengambilan hukum atau juga sebagai dasar orang islam untuk membuktikan kebenaran yang diridloi oleh Allah SWT. Dan digunakan secara luas dalam studi keislaman untuk merujuk kepada suri tauladan atau teladan  dan otoritas beliau Nabi Muhammad SAW atau sebagai sumber  ajaran islam yang  kedua setelah al-Qur’an.
Berdasarkan jumlah Perawinya hadist dibedakan atas :
a.       Hadist Mutawatir
Adalah suatu hadist hasil tanggapan dari panca indera yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rowi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta. Hadist ini diterima berdasarkan tanggapan panca indra, jumlah perowinya harus mencapai ketentuan yang tidak mungkin mereka bersepakat bohong. Mengenahi ketentuan jumlah perowi untuk memenuhi syarat tersebut para muhadditsin berselisih pendapat. Adanya keseimbangan jumlah rawi-rawi pada thobaqoh pertama dengan jumlah rawi-rawi pada thobaqoh berikutnya. Hadits ini diriwayatkan oleh rowi yang banyak dan tidak mungkin mereka mufarokat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.

b.      Hadist Ahad
Adalah hadist yang jumlah rawi pada thobaqoh pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terdiri dari tiga orang atau dua orang atau bahkan seorang. Haidts Ahad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua perowi, hadits Ahad ini tidak memenuhi hadits mutawatir ataupun masyhur. Hadits ini tidak sampai pada jumlah periwayatan hadits mashur. Imam syafi’i menyebut hasits ini dengan istilah khusus, yaitu khobar al khas yang dikelompokkan oleh ahli hadist menjadi tiga bagian yaitu hadist Masyhur, Hadist ‘Aziz dan Hadist Ghorib.
c.       Hadits Masyhur yaitu hadits yang memiliki jalur terbatas oleh lebih dua perowi namun tidak mencapai batas mutawatir.
Berdasarkan Dasar Alasan Berhujjah, Hadist dibagi menjadi :
a.       Hadits Shohih yaitu hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rowi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’ilat dan tidak janggal. Maksud dari adil yaitu selalu berbuat taat, menjahui dosa – dosa kecil, tidak melakukan perkara yang menggugurkan iman.
b.      Hadits Hasan, yaitu hadits yang dinukikan oleh orang adil (tapi) tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung-sambung sanadnya yang tidak terdapat ilat serta kejanggalan dalam matannya.
c.       Hadits Dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shohih ataupun syarat-syarat hasan.
d.      Hadits Qutsiy sinonim dengan hadits Ilahiy yaitu setiap hadits yang mengandung sandaran Rosululloh saw. kepada Alloh swt. Perbedaan antara hadits Qudsiy dan nabawi yaitu bahwa hadits Nabawi yang terakhir dinisbatkan kepada Rosul saw. dan diriwayatkan dari beliau, sedangkan hadits Qudsiy dinisbatkan kepada Alloh swt.
Dari segi kaitan Fungsinya terhadap Al-Qur’an hadist dapat ditetapkan :
a.       Sebagai Mubayyin (penjelas) terhadap apa yang secara umum telah diungkapkan dalam Al-Qur’an. Sebagaimana hadist tentang cara melakukan sholat dan Manasik Hajji.
b.      Dalam berbagai hal yang Al-Qur’an telah memberikan keterangan baik secara rinci maupun secara Ijma’, hasit merupakan sumber Hukum yang berdiri sendiri. Hal ini terjadi pada kasus Qodho. Artinya pasa saat Rosululloh menetapkan keputusan hukum umumnya keputusan hukum itu ditetapkanberdasarkan Ijtihad Rosul. Dengan demikian maka Ijtihad Rosul tersebut adalah Sunnah /Hadist Rosul yang berdiri sendiri.
c.       Hadist sebagai dasar hukum melakukan Ijtihad, seperti yang maknya tersirat pada point nomor dua, yaitu bahwa Ijtihad Rosul sebagai uswah hasanahnya Rosul dalam bidang Hukum. Rosululloh bersabda kepada Muadz bin Jabal ketika dalamd dialognya tentang “Bimaa Tahkum” salah satu jawaban Muadz “Ajtahidu Ro’yi”.

3.      Ijtihad
Ijtihad secara bahasa berarti mencurahkan segala kemampuan. Secara terminologis, dalam ushul fiqh adalah mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai suatu atau berbagai urusan. Secara lebih luas ijtihad berarti usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk memutuskan suatu ketentuan syar’i (hukum Islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum disebut al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SWT. Sedangkan ijtihad dilihat dari tujuannya adalah untuk mendapatkan hukum yang belum ada aturanya dalam nash maupun undang-undang.
Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu:
a.       Ijtihad Fardi adalah :
Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang dalam suatu perkara, namun tidak ada indikasi bahwa semua mujtahid menyetujuinya.
b.      Ijtihad Jami’
Adalah semua ijtihad dalam berbagai macam persoalan dan ijtihad itu disetujui oleh semua mujtahid.
Untuk menjadi mujtahid hendaknya memiliki persyaratan yang jelas diantaranya adalah :
a.       Menguasai bahasa Arab
b.      Mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang kandungan Al-Qur’an, sehingga ia dapat mengetahui hukum-hukum syara’ yang terkandung di dalamnya.
c.       Mempunyai pengatahuan yang luas di bidang Sunnah, hal ini akan memudahkan Mujtahid dalam mencari hadits terhadap segala peristiwa yang dihadapinya.
d.      Memahami ushul fiqh
e.       Memahami nasikh-mansukh
f.       Memiliki pengathauan tentang qias (analogi)
Metode yang digunakan oleh mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk mencari hukum atau merumuskan dalil-dalil tentang berbagi fenomena yang belum ada keterangan secara jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits diantaranya adalah :
a.       Ijma’
Adalah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Rasulullah terhadap hukum syara’ yang praktis. Hal ini dikarenakan wilayah umat Islam yang semakin meluas, maka ulama’ kontemporer enderung memahami kesepakatan kebanyakan ulama’ bukan seluruh umat.
b.      Qiyas
Adalah menyamakan suatu kasus yang hukumnya telah ada dalam al-qur’an,disebabkan persamaan alas an hukumnya.
c.       Istihsan
Yaitu seseorang berpaling untuk tidak menetapkan suatu masalah dengan ketentuan hukum yang ada kepada hukum lain yang bertentangan dengan hokum itu, karena ada sesuatu yang menghendaki demikian.
d.      Al-Maslahah al-Mursalah
Yaitu menetapkan suatu masalah hukum yang kasusnya tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Hadits, penetapan itu didasarkan pada maslahah ( kebaikan ).
e.       Sadd az-Zari’ah
Upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap suatu kasus hukum yang pada dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari tindakan lain yang dilarang.

  
BAB III
PENUTUP / KESIMPULAN

Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam itu perlu dikaji secara seksama, termasuk didalamnya sumber – sumber hukum Islam sehingga dapat menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif.
Sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran dan As-Sunnah (Hadits), sementara untuk menyikapi fenomena dan permasalahan yang ada dimana dasar hukumnya tidak diketemukan pada ke duanya, maka diperlukan Ijtihad baik dengan Ijma’,Qiyas, Istihsan, Al-Maslahah al-Mursalah maupun Sadd az-Zari’ah. Kesemuanya itu menjadi landasan dan pijakan dalam menentukan sumber hukum pada semua permasalahan di masyarakat Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Sunarso,Ali dan Sofyan,Mochlasi, Islam Doktrin dan Konteks Studi Islam Komprehensif , Pilar Media

Rosid, M. Abdul, Makalah, Sumber Pokok Dalam Islam Al Qur’an, Hadist Dan Ijtihad,

Pakpahan, Efendi, Makalah Pengetahuan Dan Sumber Ajaran Agama Islam,
Prof. Dr. H. Nata, Abuddin, M.A. Metodologi Studi Islam

M. Shihab Quraish, “Agama dan Pluralitas Bangsa, Jakarta : P3M, 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB III KONDISI UMUM

BAB III KONDISI UMUM KUA KECAMATAN WARUNGASEM KABUPATEN BATANG A.     Kondisi Objektif KUA Kecamatan Warungasem KUA K ec. War...